Jika tuhan sepanjang 9 sentimeter itu memang diciptakan untuk menghalau kekehawatiran barang sejenak, bolehlah aku memakainya sebagai penenang diri. Sesaat saja, dan biarkan kegalauan itu beranjak meninggi bersama dengan keluaran asapnya. Tidak seharusnya dikatakan menjijikkan jika aku memujanya. Tidak ada yang salah kurasa. Mencium aromanya sebentar saja, menghirupnya dengan penuh kemaknaan, dan mengeluarkannya bersamaan dengan racun yang lama telah mengendap dalam urat nadiku.
Mimpi dan harapanku seakan sirna dimakan ganasnya waktu. Dia terus menggerogoti batang lunakku, dimasaknya bersamaan dengan air mata dan peluh yang terus mengucur. Apa yang seharusnya kulakukan dalam usia sekian ini? Hanya diam dan berpangku tangan melihat semua keadaan yang dikondisikan dengan segala tipu daya? Hanya membisu ketika tak seharusnya aku diam? Hanya duduk manis dan tersenyum ketika mataku menahan jutaan tetes embun yang terbendung? Hanya mengangguk pasrah dan menanti dengan sebuah tanda tanya ketika aku berharap ada yang memberikanku jawaban pasti?
Tolong, tak ada yang salah dengan tuhanku itu. Harumnya tak seberapa enak memang jika dibandingkan daging asap yang mengepul panas di atas piringan batu. Kandungan racunnya baru akan muncul setelah beberapa puluh tahun aku mengaguminya. Dan sejauh ini, lima tahun sudah aku mengenalnya. Tanpa sedikit pun kata yang pernah muncul dari bibirnya, dia menemani kesendirianku – namun tidak untuk saat ini- tanpa sedikit pun cercaan yang muncul dari penghisapan mulutnya, dia melangkahkan pikirannya bersama ketakutan yang meliputiku. Sama dengan Tuhan yang entah berada di mana. Keduanya sama pentingnya, sama berharganya, sama pentingnya, dan sama berharganya.
Dia mencoba menemaniku ketika aku lelah untuk mencoba yang terbaik. Dia hanya terpana, duduk diam dan berkata ”kau lucu dengan tampang seperti itu..”. Aku tahu tugasnya hanya untuk menghancurkan hidupku, menggerogoti sedikit demi sedikit organ tubuh yang kumiliki. Aku tahu dengan pasti bahwa dia menemaniku hanya untuk sesaat, sampai ajal menjemputku. Aku tahu batangan tubuh rampingnya hanya kuat menahan kemarahanku hingga hitungan menit saja. Namun dia tetap setia bersamaku. Itu yang aku salutkan dari tuhan ini. Tak banyak bicara dan mengerti semua yang ada dalam pikiran dan amarahku.
Sekencang teriakannya padaku ”kau akan mati jika berkawan denganku..”. Tak apa kujawab saat itu. Berkawan denganmu memberiku keuntungan yang cukup untuk menghiburku, meski kerugian yang kuterima akan jauh lebih besar. Maaf jika aku terlalu sering membuat tubuhmu basah dan merasa terhina dengan ludahku. Maaf jika aku terlalu bersemangat menghabiskan tubuhmu demi ketenangan otakku. Namun begitu pula sebaliknya, kau akan merenggut sedikit dan jauh lebih banyak dari badanku.
Terbungkuslah dengan rapi di dalam sakuku. Jangan bergerak, dan jangan menghindar. Sesaat saja temani aku dalam kesendirianku. Dan aku akan membayarmu dengan nyawaku yang tak cukup baik untuk disimpan terlalu lama ini. Dan melalui tulisan ini, biarkan aku berterima kasih padamu. Dengan tubuh pahitmu, dengan bantalan penahan racunmu, dengan dukungan bisikanmu, aku bisa kembali melangkah, tetap tanpa sebuah kepastian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar