Ketika “aku” mencoba berlari untuk mencari sebuah cerita baru yang akan kusampaikan pada siapa pun yang bercuping dua, kakiku tetap terjerat pada sebuah dunia lama dengan berbagai cerita lama pula. “Aku” tak pernah sadar bila nafasku mulai sesak karena asap hitam yang terus disodorkan di depan hidungku, padahal “aku” harus terus bernyanyi, mengangkat tanganku sambil berpura memelas untuk mendapat sedikit bunyi kelinting di atas telapak mungilku.
“Aku” tak pernah merasakan sedu sedan yang terus direngekkan ibuku ketika kami berdua harus mengangkat berjuta batu dalam sekian hitungan jam. Panas itu terus menggerus kulitku, ketika “aku” harus menahan lapar di setiap persimpangan jalan. Untungnya banyak yang berkawan denganku, atau bisa Anda bilang, kami senasib dan serupa. Kadang, dalam waktu sepuluh jam, “aku” harus menyelesaikan segala pekerjaan dalam sebuah ruangan besar dan berasap. Orang-orang tua mengajakku, agar pendapatan keluargaku bisa bertambah, dan kami bisa melanjutkan nafas perut kami.
Seharusnya, “aku” sudah tertidur lelap di bawah selimut yang hangat ketika waktu menunjukkan pukul 23.00, namun sayangnya, keadaan tak mengizinkanku untuk bersantai di atas pelukan bundaku. Beliau mungkin masih sibuk dengan dunianya, mencari uang dengan membuka sedikit selangkangannya. “Aku” sudah terbiasa jika ada yang memanggilku dengan sebutan anak haram, memang begitulah keadaanku, tanpa ayah, dan ibu tetap bersetubuh dengan pria yang tak pernah dikenalnya.
“Aku” bisa saja bermain-main pada longsoran tanah dan berkubik-kubik air yang mengalir tepat di depan halaman rumahku, karena dengan begitu, “aku” bisa melupakan sejenak kepenatanku, ketika “aku” dan sekian banyak orang lainnya menunggu uluran tangan dari siapa pun yang melihat kami dari kotak bersuara di rumahnya. “Aku” tahu mereka hanya mengernyitkan dahinya, berkeluh mengapa bencana terus saja terjadi. Tapi “aku” sadar benar bahwa mereka tak sepenuhnya paham bahwa “aku” benar-benar semakin terhalau ke tepi, dengan perutku yang semakin sakit, dengan kaki dan tangan yang semakin penuh dengan bintik kemerahan, dan dengan bahan pangan yang tak tahu tertampung di kantong mana.
“Aku’ harus berbuat apa ketika mataku dipaksa untuk melihat kawanku diseret dan dipukuli oleh orang tuanya karena tak berhasil membawa uang untuk menghidupi adik-adiknya? Sekali lagi, “aku” hanya bisa terdiam ketika kawanku di jalan diperkosa oleh “orang tua” yang memberi kami “pekerjaan”.
Banyak kejadian yang bisa membuat “aku” harus tertegun, dan berlanjut dengan kepasrahan untuk menerima dan terus berjuang, karena hanya dengan melewati tahapan itulah, “aku” bisa bertahan untuk tetap ada di antara kalian.
***
Dalam sistem sebuah negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah anak belum menjadi isu penting yang harus dibahas dan diselesaikan. Sejauh mata memandang, dengan berbagai alasan yang dilontarkan, tindak kekerasan pada anak sering kali hanya dilihat sebagai sebuah titik di mana mereka berlaku demikian untuk bertahan hidup. Tampaknya terlalu jauh jika harus melibatkan pemerintah dalam menindak berbagai macam pelanggaran hak anak. Orang tua si anak, yang seharusnya memberikan pendampingan dan bimbingan, justru kerap menjadikan si anak sebagai tumbal untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Anak, sebagai tahap awal dari sebuah pola kehidupan, memiliki peran penting dalam mengukur tingkat mutu sumber daya manusia kelak. Banyak kejadian yang bisa kita jadikan acuan untuk menilik hal ini lebih dalam. Banyak pula tulisan yang telah dilontarkan untuk memberi informasi pada masyarakat bahwa betapa buruknya pola penanganan pada anak. Sekian banyak usaha telah dilakukan, namun semuanya tetap terlihat seperti benang kusut yang tak berujung.
Faktor utama yang membentuk pola perkembangan anak adalah keluarga. Anak membutuhkan stabilitas di dalam keluarganya, pendidikan, termasuk pemeliharaan secara fisik dan psikis. Selain itu, tigkat status sosial keluarga juga turut berpengaruh pada si anak. Sayangnya, tingkat kesejahteraan masyarakat yang kebanyakan berada pada garis kemiskinan, turut berimbas pada kehidupan anak. Mereka dituntut untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Banyak orang tua dari pekerja anak tidak paham bahwa keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan, di mana anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Peran keluarga sebagai pembentuk norma, internalisasi norma, dan pembentukan sense of belonging seakan pudar oleh kerasnya hidup. Kenyataan sosial yang terjadi saat ini justru membuat anak ikut dilibatkan di dalamnya. Hak anak, yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak, seakan tak pernah ada, karena dalam prakteknya, hak-hak ini tak mampu menggantikan biaya kehidupan yang harus dipenuhi.
Secara alami, ada faktor pikiran dan kesadaran dalam pelaksanaan sebuah pekerjaan, termasuk bagaimana seorang anak secara sadar bekerja untuk berbagai kepentingan hidupnya. Kita ambil contoh anak jalanan, untuk bertahan hidup di tengah kehidupan kota akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, anak-anak ini bekerja di sektor informal, baik yang legal maupun ilegal di mata hukum. Ada yang bekerja sebagai pedagang asongan di bus kota atau kereta api, ada yang bekerja sebagai tukang lap mobil dan motor, penjual koran, penyemir sepatu, dan tidak jarang ada anak yang terlibat dalam pekerjaan yang berbau kriminal, misalnya mencuri, mengompas, atau bahkan menjadi bagian dari komplotan perampok.
Mengapa anak-anak ini bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima? Menurut Mohammad Farid (1998), tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, anak-anak ini berkembang di bawah tekanan dan stigma sebagai penganggu ketertiban. Perilaku mereka sebenarnya merupakan suatu konsekuensi logis dari stigma sosial keterasingan mereka dalam masyarakat. Siapa lagi yang bisa membiayai perut mereka jika bukan mereka sendir?
Dampak dari krisis ini tidak hanya melahirkan proses pemiskinan, tapi juga ancaman dan kasus rawan gizi. Menurut Stephen J. Wooddhouse (Gatra,8 Mei 1999 dalam Suyanto (2000)), rata-rata setiap hari ditemukan sekitar 10-12 juta balita kekurangan gizi. Yang paling mengenaskan, empat juta di antaranya berusia dua tahun. Padahal pada usia ini, sel otak mulai tumbuh, sehingga bisa dibayangkan, apa yan akan terjadi jika kasus seperti ini terus berlanjut.
Selain krisis ekonomi yang berkepanjangan, berbagai gejolak politik dan kerusuhan yang timbul di berbagai daerah adalah peristiwa lain yang menyebabkan terganggunya masa depan anak. Konflik ini kerap menjadikan kelangsungan pendidikan anak terkatung-katung. Ketakutan, rasa tidak aman, dan hidup dalam ketidakpastian seperti virus yang menyebar begitu saja.
***
Dalam perkembangan dunia, isu pembangunan pada negara berkembang selalu mendapat porsi yang besar. Hal tersebut dikarenakan negara berkembang sebenarnya memiliki potensi yang besar akan tetapi belum mampu untuk memanfaatkannya. Strategi pembangunan di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga kini pada dasarnya di pengaruhi oleh Teori Pembangunan Dunia Ketiga yaitu Teori Modernisasi dan Teori Dependensia (Ketergantungan).
Pada saat kita melihat fenomena pembangunan secara sistemik, berarti kita melihat fenomena tersebut merupakan hasil relasi antarelemen yang memiliki perbedaan fungsi yang kemudian membentuk satu sistem yang utuh. Elemen tersebut antara lain media, negara, masyarakat, dan keadaan ekonomi masyarakat. Keempat hal tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan satu sama lain jika memang dapat berkoordinasi dengan baik, dan berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Kita ambil contoh kinerja pemerintah dalam menciptakan suatu kehidupan yang layak bagi masyarakatnya. Dalam persuasi pembangunan misalnya, justru ide yang muncul dari luar kehidupan masyarakat yang akan diwujudkan dalam kehidupan khalayak. Masyarakat harus dibawa keluar dari kehidupan nyatanya, dan dibawa ke dalam sebuah mekanisme yang bersifat struktural. Kita lihat contoh lain dalam elemen media - yang seharusnya memberikan edukasi pada masyarakat- di bawah ini.
Perkembangan dunia periklanan sekarang ini memang luar biasa. Banyak sekali karya-karya anak negeri, baik di media elektronik maupun media cetak yang membuat kita tercengang dan bangga dengan kreativitas mereka. Tapi jika kita mencermati lebih lanjut, dari karya-karya tersebut, masih banyak iklan yang melanggar tata krama dan tata cara periklanan di Indonesia, baik yang disengaja maupun tidak.
Jelas terasa adanya pergulatan antara etika di satu pihak dan kepentingan bisnis di pihak lain. Kondisi ini sebagian besar akibat masih awamnya para pelaku periklanan maupun masyarakat sendiri dalam etika beriklan, Dua bentuk pelanggaran ternyata paling sering terjadi, yaitu yang merendahkan produk pesaing, dan penggunaan atribut profesi atau "setting" tertentu yang menyesatkan atau mengelabui khalayak. Beberapa iklan mengolah temuan-temuan riset tanpa menyinggung sumber, metode dan waktunya, sehingga seolah-olah mengesankan suatu kebenaran. Dalam hal kategori produk, pelanggaran paling banyak ditemui pada iklan-iklan obat-obatan dan makanan.
Bentuk penanganan yang dilakukan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, PPPI adalah mengeluarkan panduan Etika Periklanan Indonesia (EPI), yang didalamnya mencakup Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) untuk mengatur penyajian iklan, dan Standard Usaha Periklanan Indonesia (SUPI) untuk mengatur persaingan usaha antar biro iklan. Beberapa kasus memang sudah ditangani oleh Badan Pengawas Periklanan PPPI, baik yang dipanggil secara langsung maupun secara tertulis. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan arahan yang benar tentang aturan-aturan atau pedoman yang dipakai dalam kegiatan periklanan di Indonesia. Pada umumnya anggota-anggota PPPI selalu menanggapi dengan baik, karena memang sasaran akhir dari semua ini adalah untuk menciptakan iklim berusaha atau bersaing yang sehat, demi kemajuan industri periklanan di Indonesia.
Contoh Iklan :
Produk : Baygon, versi keharuman bunga lavender
Iklan ini telah melanggar ketentuan pemeran iklan berkategori anak-anak, dalam TKTCPI telah dijelaskan bahwa ketentuan tata krama pemeran iklan anak sebagai berikut :
1. Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
2. Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
3. Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
4. Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan permintaan anak-anak mereka akan produk terkait.
Usaha negara-negara berkembang memacu proses industrialisasi pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kapabilitas teknologi, yang mampu menghasilkan produk-produk berdaya saing tinggi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara nyata dan berarti. Untuk itu tidak ada pilihan lain bagi setiap negara kecuali menyiasati berbagai wahana untuk meraih peluang-peluang yang terbuka dalam rangka peningkatan kapabilitas teknologi.
Berbagai usaha yang dilakukan seringkali terbentur pada faktor-faktor yang bersifat struktural, seperti penguasaan teknologi, kualitas sumber daya manusia, prasarana fisik, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, kemampuan suatu negara untuk mengembangkan kapabilitas teknologi banyak ditentukan oleh upaya teknologis, perlengkapan modal, dana, kualitas sumber daya manusia, serta keterampilan teknis dan organisatoris, untuk menggunakan unsur-unsur tersebut secara efektif dan efisien (Call, 1992).
Dari contoh yang saya paparkan di atas, salah satu solusi yang ditawarkan dalam usaha memperbaiki kualitas sumber daya manusia (baca: anak) adalah dengan mencoba mengubah pandangan orang tua dan masyarakat tentang anak. Orang tua harus memandang mereka bukan sebagai properti yang bisa diperdagangkan, namun sebagai aset yang memiliki masa depan, yang perlu diberi kepeercayaan, dihargai pandangannya, dan difasilitasi kebutuhan hidupnya.
Kesulitannya saat ini adalah, pandangan seperti itu muncul pada pola kehidupan menengah ke atas, atau paling tidak oleh orang-orang yang mendapat pencerahan. Secara makro, pemerintah tidak dapat memberikan informasi pada orang tua si anak untuk mengubah pandangan mereka tentang masa depan anak. Bahkan, undang-undang yang dibuat untuk menjaga hak anak tidak dibuat secara komprehensif, dan cenderung membela kepentingan kelompok sekaligus wilayah kependudukannya. (lihat UUD pasal 34).
Pembangunan yang dilakukan selama ini sibuk memikirkan pertumbuhan ekonomi, yang kemudian malah melahirkan kesenjangan ekonomi dan juga masalah sosial lainnya, termasuk masalah anak. Dengan acuan paradigma pembangunan yang selama ini kita anut, yakni pertumbuhan, maka konsekuensinya adalah sumber daya manusia diartikan sebagai sarana untuk pertumbuhan itu, bukan sebagai subyek pembangunan. Namun demikian, tak tampak adanya perhatian dari pemerintah mengenai hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar