Satu dari beberapa hal yang paling kusesalkan dalam hidupku adalah ketika aku menjadi anak baik-baik (di depan ibuku). Tidak seharusnya aku melakukannya. Menjadi sesosok yang berubah sedemikian rupa adalah satu hal yang tidak membuatku nyaman.
Mengapa demikian?
Begini. Ibuku. Dia adalah wanita (ya iyalah). Lahir 12 September 1954. Aku ga yakin apakah di tahun itu ia juga turut mengenal yang namanya minuman keras, rokok, bir,pulang pagi, atau apa pun itu yang dianggap tidak baik. Yang aku tahu, dia suka memamerkan apa yang dinamakan dengan wanita. Rok mini, sepatu hak tinggi, rambut sebokong, kaca mata besar, dan tas segede gambreng. Owalah, Ma. Kalau cuma kaya gitu aja aku juga bisa kaleee. Tapi aku tau malu lah ya, kulitku ga seoke punyamu.
Yang aku tahu, dia adalah orang yang memiliki cara terbaik untuk selalu membuatku kembali padanya. Cerewet? Dia sangat cerewet. Gemuk? Akhirnya dia mengalah pada berat badan yang tidak bisa lagi diatur. Ga penting? Dia suka menanyakan sesuatu yang ga penting. Beneran deh. Rasa ingin taunya luar biasa tinggi. Ia ingin selalu menjadi orang nomor satu yang tau gosip terhangat di kompleks perumahan kami (tapi herannya, dia ga pernah ikut nimbrung sama ibu-ibu perumahan itu). Ia harus selalu tahu apa yang kumakan tiap hari (dalam waktu lima tahun ini kan kita hidup terpisah). Ia akan selalu marah kalau berat badanku di bawah 55 kilogram. Ia akan selalu memaksaku untuk mencari barang-barang rumah tangga yang jauh lebih murah ketimbang di Malang. Ngeyel? Sampai detik ini, akhirnya aku baru tahu bakat ngeyelku itu turun itu dari siapa.
Selama kurang lebih tujuh belas tahun lamanya dia memandangiku, tahu setiap langkah yang kuambil, dan selalu mengerti apa yang kuperbuat. Dengan gaya konvensionalnya, dia berusaha menjadi seorang ibu yang harus selalu tahu tentang perkembangan anaknya. Kadang menyenangkan, namun dalam beberapa tahap perkembangan diriku, aku tidak merasakan kenyamanan ketika dia selalu berusaha membuat aku jengah dengan apa yang dikatakannya.
Lepas dari usia itu, aku beranjak menjauh dari hidupnya, mencoba cara lain untuk bertahan hidup di tanah orang. Hahahahahahahaha.. Ternyata kacau! Beberapa bulan pertama, aku selalu merindukan sapaan hangat “gimana tadi di sekolah, Nduk?”. Di Yogya, sama sekali tidak ada yang menanyakan keberadaanku, bahkan ketika aku hidup bersama dengan bibiku.
Karena bakat selalu ingin tahunya, ibuku akan selalu bertanya tentang hari-hariku. Dan dengan wajah Cinanya yang menjengkelkan, dia akan mendengarkan aku mengoceh ke sana ke mari (Mama, aku selalu bertanya dalam hati, kenapa mata sipitmu itu selalu membuat aku pengen njiwit? Mata itu harus dibesarkan sedikit, biar ga terkesan sinis). Dia tidak pernah menanggapi dengan baik sih. Ketika aku bercerita tentang guruku yang menjengkelkan, dia hanya mendengarkan sambil memotong tempe atau menggoreng empal. Ga tau dia dong atau enggak, tapi akhir dari pembicaraan kita selalu begini “yo wes, ganti baju, cuci tangan, cuci kaki, terus makan.” Njuk opo gunane crito?
* Ganti baju, cuci tangan, cuci kaki. Percaya atau tidak, aku masih mendengarkan dia berkata seperti itu ketika aku berusia 17 tahun.
Harus kuakui, bakat memasaknya luar biasa baik. Tangannya gemuk gempal, selalu terlihat pas ketika memegang daging ayam untuk ditumbuk. Bawang putih dan bawang merah akan selalu teriris rapi ketika pisau besarnya itu mulai bersuara tek tek tek tek, berirama, makin lama makin cepat (ga tau deh itu jarinya ikut kepotong atau enggak. Ngerti-ngerti udah abis, Ma?). Aku paling suka waktu dia masak oseng-oseng buncis pake daging giling. Rasanya pedes banggett. GGOOOODDD!! Enak banget rasanya
Dan yang paling kusukai dari dia adalah, dia tahu persis aku ga suka ikan. Jadi, minyak, alat-alat dapur, dan piring-piring yang sekiranya berbau atau bekas dipakai untuk mengolah ikan, tidak akan pernah didekatkan dengan piringku. Dia tidak akan pernah memakai wajan yang sama untuk menggoreng ikan dan tempe. Ikan itu akan ditaruh di piring terjelek yang dimilikinya, dan akan disembunyikan biar baunya ge menyebar. Sementara tempe gorengnya akan diletakkan di atas piring oval cantik, ditutup dengan tudung saji, atau dibuat sambel tempe. Ga ada yang ga enak deh masakannya. Semuanya, ENAK!
Namun sayang, dalam beberapa kesempatan, dia kehilangan sosok seorang Ariel yang ia kenal. Aku terlalu banyak dirubah oleh lingkungan baru yang kukenal. Sebenarnya aku sudah menunjukkan gejala pemberontakan dari jaman SMP, tapi hal ini sempat terendap karena masih ada yang mengawasi. Berhubung di Yogya pengawasan itu semakin mengendor, jadilah si Ariel berubah menjadi gadis bodoh yang mau-maunya bilang iya-iya aja untuk semua jenis kenakalan. Apa sih yang belum pernah kulakukan? Mmmm.. Kecuali penggunaan klenik dan sejenisnya, tampaknya semua jenis kenakalan remaja udah pernah kucoba. Tapi ya gitu, karena nakalnya ga total, makannya aku harus berubah menjadi malaikat ketika berada di depan ibuku.
Biasanya aku pulang ke Malang dua bulan sekali, dan dalam waktu dua minggu, aku berusaha menjadi anak gadis yang diidam-idamkannya. At least, dia bisa punya bahan menarik untuk diceritakan di depan ibu-ibu perumahan waktu aku pulang. “Anak saya udah mau skripsi. Anak saya di UGM. Anak saya tambah gemuk. Anak saya.. Anak saya..”. Ga mungkin waktu aku pulang, dia harus bercerita pada teman-temannya “Anak saya itu ga suka pulang malam, pagi terus pulangnya. Anak saya itu ga lulus-lulus. Anak saya itu kaya carok..”
Membuatnya berpikiran positif tentang apa yang kulakukan bukanlah hal yang mudah. Selalu ada saja alasan yang dibuatnya untuk menjegal argumenku. Bukannya aku kalah dan ga bisa berdebat, tapi ada baiknya ketika aku berusaha diam, dan mengambil celah untuk membuatnya terpaku dan akhirnya bisa berkata “anakku hebat..”, apa pun bentukku di depannya.
Maaf Mama, banyak hal yang kusimpan darimu semenjak kita berpisah. Aku tahu, kau masih menyukai bentukanku saat aku remaja, menurut dan selalu diam, tapi tidak bisa selamanya aku bisa menjadi gadis impianmu. Seperti saat pagi ini kau berkata padaku “Mama kok senengan kowe pas ndisik SMP si, Riel? Manutan. Saiki kowe ki ngeyelan.”. Aku hanya kembali tersenyum mendengarnya. Tidak berusaha memperdebatkannya. Mama, tidak ingatkah kau waktu aku lari dari rumah selama beberapa hari? Saat itu kau selalu beranggapan bahwa jika aku diam berarti aku menurut padamu. Tentu kau tidak ingin hal itu terulang lagi kan?
hhhmmmm...
Tapi terlepas dari itu semua, kau tetap mama yang oke.. Bahkan ketika kau luar biasa ngeyel..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar