Seandainya, dan hanya jika aku berani bertanya tentang apa pun itu. Tapi sayang, tidak ada sedikit pun keberanian untuk melakukannya.
Seharusnya tidak pantas kalau aku menggunakan kata-kata “jika”, “kalau”, atau apa pun yang berdekatan dengan sinonimnya. Karena itu tandanya, aku tidak suka dengan beberapa kejadian dalam hidupku. Dalam rumusan matematika, bisa dianalogikan seperti ini:
Kalau saja aku putih.
Yang menciptakan putih adalah Dia.
Aku tidak suka dengan putih, sama artinya aku tidak suka dengan caraNya mendandaniku.
Sama saja dengan tiap keadaan dalam hidupku. Kalau saja, seandainya, semuanya bisa sejalan dengan apa yang kupikirkan. Entah jadi apa nantinya?
Aku yakin jika pada awalnya, pada akhirnya, dan pada umumnya, semua tidak akan sesuai dengan apa yang diberikan pada kita. Selalu saja ada pembantahan yang kadang harus dibenarkan oleh kita yang menjalaninya. Jika pada akhirnya tidak sesuai dengan harapan atau pun estimasi dari apa yang dipikirkan oleh pikiran kita, selalu saja ada pelontaran yang biasanya dikenal dengan nama keluhan.
Hhhhh..
Begitu biasanya suaranya diperdengarkan. Lirih, dan sering kali mengganggu beberapa kinerja yang telah disepakati sebelumnya. Pada saat itu, kita terjerembab pada satu titik yang membuat langkah terhenti. Merasa lelah, dan tidak ingin berbuat apa pun. Merasa kacau dengan situasi yang tidak mendukung, dan mulai melontarkan berbagai macam alasan untuk membenarkan bahwa keadaan tidak berjalan dengan baik.
Itu kan hanya pembenaran saja sebenarnya.
Apa yang sebenarnya diharapkan dari sebuah kehidupan? Selalu berbahagia dan mendapat apa yang kita inginkan? Betapa mudahnya jika semua yang kita inginkan akan kita dapatkan tanpa usaha yang maksimal. Boleh saja berandai-andai bahwa suatu saat nanti, Gunung Kilimanjaro akan menjadi hak milikku. Boleh saja aku berangan untuk menjadi gadis putih, berhidung mancung, dan selalu dipandang pintar oleh kaum adam. Andaikan saja aku tidak tinggi, mungkin saja aku bisa menikmati perjalanan jika aku harus naik bus pariwisata (karena kakiku tidak akan terlipat pasrah di antara badanku dan kursi di depanku). Andaikan saja aku lahir dari keluarga yang kaya raya (ini adalah harapan muluk setiap orang yang menggangap bahwa semua akan menjadi lebih menarik dan indah jika dijalani dengan uang), mungkin aku tidak akan duduk di sini. Aku pasti sedang duduk di atas bangku helikopter yang membawaku berkeliling di atas udara untuk sekedar memandangi pepohonan yang semakin berkurang jumlahnya. Mungkin saja semua itu terjadi.
Namun bedakan antara mimpi dan sebuah harapan yang tidak seharusnya melawan kodrat yang telah digariskan.
Jika hidup begitu mudah, aku tidak akan bertemu dengan orang-orang yang berebutan membagi kisah hidupnya padaku. Jika hidup bisa dihubungkan dengan mudah oleh perkataan “seandainya begini”, “jika saja”, “kalau aku..”, aku yakin, tidak akan ada warna hidup yang menarik untuk ditonton. Tidak akan ada yang menangis. Karena tidak ada yang menangis, maka tidak akan ada yang beranjak dewasa. Dan semuanya akan tampak sama, monoton. Semua tampil sempurna.
Pertanyaan yang kugubah dan kusadur untuk mempertanyakan apa yang tidak seharusnya kumiliki membuat aku tersadar, bahwa apa yang ingin kumiliki harus kuusahakan. Hanya itu satu-satunya cara membuat semua pengandaian itu menjadi nyata. Meski pada akhirnya, aku hanya bisa mempertanyakan itu pada orang yang belum bisa memberikan jawaban pasti. Tapi aku yakin, proses tersebut membuat aku percaya bahwa hidup diciptakan untuk merealisasikan semua khayalan, bukan hanya berjalan lurus, tegak, dan tidak mengambil resiko apa pun.
http://www.mendutrafting2010.com/
BalasHapus