Aku yakin, akan ada begitu banyak
orang yang memberimu selamat hari ini. Dengan segala bentuknya, dengan segala
keinginannya, dengan segala cerita yang ingin disampaikan. Sama sepertiku. Aku
ingin memberimu sedikit pengertian sebenarnya. Tidak ada yang aku lakukan
untukmu hari ini. Aku tidak berbaris rapi membawa bendera untuk dikibarkan. Aku
tidak berdiri memakai topi untuk mendengar guruku berceramah tentang moral
murid yang semakin melorot. Aku tidak mengibarkan bendera di depan kamarku. Aku
tidak ikut dalam lomba RT atau RW. Aku juga tidak keluar dari kamar kosku
sampai pukul 14.00 tadi. Tidak ada hal istimewa yang kulakukan hari ini. Maka
dari itu, aku memberanikan diri untuk menyelamati 67 tahun usiamu dengan cara
seperti ini.
Jika kucermati lebih lanjut,
ternyata semua proses ini baru saja dimulai. Sebuah proses yang mungkin akan
jauh lebih penting dari pada memasang lambing (lambang maksudku) keperkasaan di
depan pintu kamarku, atau sekedar berdiri dan bahkan tidak mendengar dengan
baik apa yang disampaikan oleh inspektur upacara. Seperti sederetan kambing
congek yang sengaja dipasang untuk pelengkap hari kemerdekaan. Berjajar rapi
belum tentu bisa memahami arti kemerdekaan dengan baik, bukan?
Aku yakin, hanya sebagian dari
mereka yang akan berucap syukur bahwa Indonesia masih bisa berdiri di atas
dudukan kayu yang sudah semakin rapuh. Hanya sebagian kecil yang percaya dan
yakin bahwa kemerdekaan itu diraih untuk membuka mata kami, sebagai kaum yang
dimerdekakan dari orang-ornag terdahulu. Seperti laiknya para tetua yang selalu
dimunculkan dalam profil televisi swasta.
Biasanya, orang-orang itu adalah para veteran yang “tinggal” di rumah
yang tidak bisa kukatakan sebagai rumah. Atau mungkin, sosok lain yang dianggap
berjasa oleh pemerintah. Hanya dianggap saja. Tidak lagi diperdulikan sebagai
sosok yang justru memiliki doa paling besar dibanding manusia-manusia yang
berdiri tegak di atas lapangan yang semakin memanas. Aku bisa mengatakannya
seperti ini. Mereka dimunculkan, dan kadang dibantu. Agar masyarakat masih bisa
berkata demikian “oh, ternyata masih ada yang peduli dengan mereka”. Setelah
itu, semuanya akan berjalan seperti biasanya. Orang-orang itu akan tetap hidup
dalam kebanggaan yang akan mereka pendam seumur hidup.
Yang tinggi semakin sibuk
mencerna dari mana lagi aku bisa mendapat harta. Yang kecil hanya bisa
geleng-geleng kepala, dan berharap bahwa esok hari perut mereka masih bisa
diisi dengan sepuluk nasi. Bahkan ketika nasi itu pun telah mengeluarkan lendir.
Sama saja dengan aku saat ini.
Aku tidak terlalu memikirkan apa yang diartikan sebagai sebuah kebebasan atau
apa pun namanya. Kadang, jika aku bisa merunut ulang apa yang pernah kuanggap
sebagai sebuah pembelajaran, aku hanya bisa tertawa. Sebegitunya aku dibuat
terpelanting ke sana dan ke mari. Aku diberi banyak pilihan dan kebebasan untuk
melakukan apa yang ingin aku jadikan keputusan. Aku menarik nafas panjang,
menghembuskannya, mencoba menutup mata sejenak, kadang diiringi dengan sedikit
air mata busuk, membuka kembali, dan tidak ada yang berubah. Ternyata tidak ada
yang berubah ketika aku hanya berusaha untuk tidak mau tahu.
Bodoh, sungguh bodoh aku pikir.
Gandum tidak akan menjadi tepung jika hanya dipandangi sekian hari.
Ariel…
Jika saja aku bisa membayangkan
seperti ini. Orang-orang yang hidup di atas tadi tentu memiliki sebuah kendala
berat dalam hidupnya. Mau atau tidak mau, mereka hanya akan berkawan dengan
Dia. Aku yakin, bahkan aku pun tidak akan memikirkan mereka setiap hari. Jadi,
kesimpulannya adalah, mereka hanya bisa berkeluh dengan si Pemilik Hidup.
Mungkin dengan begitu, mereka bisa merengek untuk sedikit diubah jalan
hidupnya.
Aku juga tidak tahu bagaimana
cerita itu dituliskan untuk manusia. Apakah seperti aku ini?
Menulis jika benar-benar ada mood untuk melakukannya. Karena dengan
begitu, hasil tulisan itu akan enak untuk dibaca dan didengarkan. Pasti, waktu
Dia menulis cerita untuk orang-orang itu, Dia sedang bingung. Jadi, cerita yang
dihasilkan hanya akan membuat orang yang membacanya mengernyitkan dahi.
Hmmmm.. Iya ga sih?
Aku harap, Dia tidak langsung
membalas tulisanku kali ini. Dia pasti tidak mau kalah denganku. Jika aku tidak
mau kalah, yang aku lakukan sekarang adalah langsung membalas tulisan ini. Tapi
masalahnya, tidak mau kalah adalah sebagian dari bentukan nafsu. Bukan nafsu
yang diharapkan menjadi penyelesai suatu masalah. Jadi, aku masih berharap
bahwa Dia hanya tersenyum ketika melihatku menulis saat ini. Harapanku yang
lain adalah, Dia masih sibuk mengetik atau menghapus cerita milik manusia lain.
Heloooowww!! Siapa kamu, Ariel??
Lagian tema kali ini adalah
kebebasan, bukan? Jadi, suka-suka Dia dong mau menulis apa tentang kamu. Bisa
saja setelah kamu mematikan lappyta,
Dia akan membalas semua pertanyaanmu. Seperti biasa, bukan dengan cara-cara
yang umum untuk dilakukan. Dia tahu
pasti bagaimana kamu membenci sebuah keragaman.
Huffft.. Iyaaa..
Hei, Indonesia!
Selamat ulang tahun ya.. Apa pun
alasannya, seharusnya kamu masih bisa berbangga, karena masih ada yang mengais
hidup dari dalammu. Mungkin ada sebagian orang seperti aku, yang mengejekmu
habis-habisan, dan merasa semakin tidak peduli dengan orang-orang di
sekitarnya. Tapi ingatlah, masih ada orang-orang yang peduli denganmu.
Mendoakanmu setiap saat, bersamaan dengan bunyi keroncongan perut mereka.
Sanggahlah mereka dengan sisa tenaga yang kau miliki, Indonesia.
Cerita untuk kita baru saja
dimulai. Aku untuk aku, dan ulang tahunmu untuk mereka.
(Aku berharap, Dia tidak
melihatku sedang membuat tulisan ini. Ssssttt..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar