Bahkan ketika kau tidak lagi mampu untuk berjalan seorang diri, kau bertandang ke dalam pelukanku. Seakan ingin berkata “aku lelah”. Tidak mengapa kupikir. Untuk kesekian kalinya aku melihat mukanya begitu letih dengan apa yang dinamakan dengan kehidupan. Kau terbaring melemah, mendengkur, dan sejenak lupa akan kepenatanmu. Datanglah ke mari, datanglah mengahampiriku. Hanya itu yang bisa kuberikan. Senyum dan tawa yang kau sukai. Sebaris kata penyanggah yang selalu membuatmu bertanya “mengapa kau tidak mengatakan iya untuk sekali waktu?”
Entah di dalam sana kau terpekur dengan apa atau siapa. Aku tidak peduli dengan semua itu. Kau tetap tertidur pulas, meski kadang kau terbangun, terkejut karena gerakan kecilku. Matamu memerah, dan pandanganmu tetap tak terfokus pada apa yang ada di hadapanmu. Dan kau kembali tidur.
Kau tahu apa yang terjadi ketika kau memutuskan untuk terlelap? Mukamu akan tampak sangat buruk, dengan bibir yang sedikit menganga, dan kau tidak akan pernah sadar jika kehidupan lain yang menantimu di luar sana.
Ada bagian yang kusuka ketika kau tertidur. Ragamu akan terlepas dari apa yang dinamakan lelah, dan untuk sejenak kau akan terhenyak dari apa yang kau namakan masalah.
Tidurlah..
Dan ketika kau terbangun, aku akan ada di sini. Tetap tersenyum, dan mengucapkan “selamat datang kembali pada kehidupan”.
Selasa, 20 September 2011
Balada Tai Kucing
Tai : Kamu kenapa kucing? Kok bicara-bicara sendiri? Mulai gila ya?
Kucing : Ah! Siapa yang bilang aku bicara sendiri?
Tai: Aku melihatnya dengan mataku sendiri. Kamu jangan bohong!
Kucing: Bagaimana kamu bisa melihat? Sejak kapan kamu diberi mata? Baumu saja sudah
membutakan.
Tai: Ini kan juga gara-gara kamu! Apa yang kamu makan sehingga aku jadi begini?
Kucing: Apa sajalah. Yang penting aku bisa hidup, kan?
Tai: Hei! Aku tadi kan bertanya padamu. Mengapa kau bicara sendiri seperti itu?
Kucing: Kan sudah aku katakan. Aku tidak merasa berbicara sendiri.
Tai: Lantas?
Kucing: Aku mendudukkan tiga badut ini di hadapanku. Kudandani badut-badut itu. Yang satu berkacamata agak ke bawah, memakai celana jauh di atas pusar. Anggap saja dia laki-laki. Yang kedua kuberi jenis kelamin wanita. Dandanannya menor, roknya di atas paha, dan kusumpalkan rokok di mulutnya. Dan yang terakhir berjenis kelamin laki-laki. Kuberi tampilan paling baik dari kedua badut tadi.
Tai: Untuk apa kau lakukan itu semua?
Kucing: Untuk menghindari pertanyaanmu tadi tentu saja. Aku tidak bicara sendiri. Aku bicara pada badut-badut itu.
Tai: Apa yang kau bicarakan pada mereka?
Kucing: Sedikit masalah hidup saja.
Tai: Apakah aku bisa mengatakan bahwa kau akan bertemu muka dengan ketiga badut itu?
Kucing: Yah, bisa kau bilang begitu.
Tai: Kapan kau akan bertemu dengan mereka dan membicarakan masalah hidup itu?
Kucing: 3 hari dari sekarang.
Tai: Jadi, inti dari monologmu adalah persiapanmu?
Kucing: Sssstttt!!! Jangan bilang pada siapa-siapa. Aku mendadak menjadi seperti orang gila. Ah, tidak-tidak. Anggap saja aku sedang berlatih teater. Memunculkan suara-suara dan kemungkinan-kemungkinan kecil yang akan terjadi. Aku pintar ketika menirukan ketiga badut itu.
Tai: Begitu yakinnya kau dengan dirimu?
Kucing: Harus!
Tai: Mengapa sebegitu yakinnya kamu?
Kucing: Karena aku yang membuat cerita yang ingin kusampaikan pada ketiga badut ini.
Tai: Lantas? Mengapa dirimu harus berlatih jika sudah yakin?
Kucing: Karena aku ingin memastikan bahwa ketiganya akan tersenyum ketika mendengarkan aku bercerita nanti.
Tai: Apakah dalam latihanmu kau buat mereka tersenyum?
Kucing: Tentu saja tidak. Dengan begitu, aku bisa membuat ekspresi mukaku semakin melonjak pada ranah percaya diri.
Tai: Aku boleh ikut menemui ketiga badut itu? Aku ingin melihatmu bercerita.
Kucing: Tidak usah. Nanti aku sakit perut, dan jumlahmu akan semakin banyak.
Tai: Ah! Tadi katamu sudah siap? Sakit perut itu kan pertanda psikologis bahwa kau gugup.
Kucing: Wajar saja, kan?
Tai: Berlatihlah lagi hingga kau benar-benar siap dan tidak memikirkan yang tidak seharusnya kau pikirkan.
Kucing: Hmmmm.. Begitu ya?
Tai: Aku mengenalmu, kucing!
Kucing : Ah! Siapa yang bilang aku bicara sendiri?
Tai: Aku melihatnya dengan mataku sendiri. Kamu jangan bohong!
Kucing: Bagaimana kamu bisa melihat? Sejak kapan kamu diberi mata? Baumu saja sudah
membutakan.
Tai: Ini kan juga gara-gara kamu! Apa yang kamu makan sehingga aku jadi begini?
Kucing: Apa sajalah. Yang penting aku bisa hidup, kan?
Tai: Hei! Aku tadi kan bertanya padamu. Mengapa kau bicara sendiri seperti itu?
Kucing: Kan sudah aku katakan. Aku tidak merasa berbicara sendiri.
Tai: Lantas?
Kucing: Aku mendudukkan tiga badut ini di hadapanku. Kudandani badut-badut itu. Yang satu berkacamata agak ke bawah, memakai celana jauh di atas pusar. Anggap saja dia laki-laki. Yang kedua kuberi jenis kelamin wanita. Dandanannya menor, roknya di atas paha, dan kusumpalkan rokok di mulutnya. Dan yang terakhir berjenis kelamin laki-laki. Kuberi tampilan paling baik dari kedua badut tadi.
Tai: Untuk apa kau lakukan itu semua?
Kucing: Untuk menghindari pertanyaanmu tadi tentu saja. Aku tidak bicara sendiri. Aku bicara pada badut-badut itu.
Tai: Apa yang kau bicarakan pada mereka?
Kucing: Sedikit masalah hidup saja.
Tai: Apakah aku bisa mengatakan bahwa kau akan bertemu muka dengan ketiga badut itu?
Kucing: Yah, bisa kau bilang begitu.
Tai: Kapan kau akan bertemu dengan mereka dan membicarakan masalah hidup itu?
Kucing: 3 hari dari sekarang.
Tai: Jadi, inti dari monologmu adalah persiapanmu?
Kucing: Sssstttt!!! Jangan bilang pada siapa-siapa. Aku mendadak menjadi seperti orang gila. Ah, tidak-tidak. Anggap saja aku sedang berlatih teater. Memunculkan suara-suara dan kemungkinan-kemungkinan kecil yang akan terjadi. Aku pintar ketika menirukan ketiga badut itu.
Tai: Begitu yakinnya kau dengan dirimu?
Kucing: Harus!
Tai: Mengapa sebegitu yakinnya kamu?
Kucing: Karena aku yang membuat cerita yang ingin kusampaikan pada ketiga badut ini.
Tai: Lantas? Mengapa dirimu harus berlatih jika sudah yakin?
Kucing: Karena aku ingin memastikan bahwa ketiganya akan tersenyum ketika mendengarkan aku bercerita nanti.
Tai: Apakah dalam latihanmu kau buat mereka tersenyum?
Kucing: Tentu saja tidak. Dengan begitu, aku bisa membuat ekspresi mukaku semakin melonjak pada ranah percaya diri.
Tai: Aku boleh ikut menemui ketiga badut itu? Aku ingin melihatmu bercerita.
Kucing: Tidak usah. Nanti aku sakit perut, dan jumlahmu akan semakin banyak.
Tai: Ah! Tadi katamu sudah siap? Sakit perut itu kan pertanda psikologis bahwa kau gugup.
Kucing: Wajar saja, kan?
Tai: Berlatihlah lagi hingga kau benar-benar siap dan tidak memikirkan yang tidak seharusnya kau pikirkan.
Kucing: Hmmmm.. Begitu ya?
Tai: Aku mengenalmu, kucing!
Minggu, 18 September 2011
...........
Musik itu bertalun merdu, tidak pekak, dan tidak sumbang. Iramanya pas, tepat memasuki setiap sela cuping telingaku. Membuat otakku terusik untuk merancang sebuah irama baru yang kucoba untuk dimasukkan dalam tiap baris kata yang ada.
Sekelilingku gelap, tapi aku tidak buta.
Sebarisanku menjadi sedikit sama, tapi tidak seirama, hanya berjalan pada arah yang berbeda.
Aku menyadari, bahwa apa yang telah dibuat dan dirancang tidak begitu mudah untuk diakui menjadi hak milik kita.
Sekelilingku terang, dan aku mulai menutup mata.
Sebarisanku mulai mencari cara untuk berjalan pada langkah yang beriringan.
Aku menyadari, bahwa apa yang telah dibuat dan dirancang begitu sulit untuk dijadikan bagian dalam diri kita.
Darah di dalam nadiku terus bergerak, mencoba untuk memberiku peringatan bahwa aku tidak bisa diam.
Jika darah itu bergerak, maka akan ada kata lain yang disebut dengan nafas.
Dan jika nafas itu berhembus, maka akan ada rambu lain yang menyatakan bahwa aku harus tetap berdiri.
Dipaksa untuk mengerti bahwa yang lainnya juga masih berjalan.
Entah sendiri, berpasangan, berteman, bergandengan, berkonflik, bertengkar, berdamai, atau tetap bergulat pada sebuah masa, di mana tidak ada lagi kerinduan untuk mencoba sesuatu yang baru.
Ada kehampaan dan sedikit kekosongan yang mencoba mengisi ruang dalam diriku. Aku sampai pada titik yang mendorongku untuk terjun pada suatu keadaan yang menjepit.
Aku bimbang, bingung, dan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk memulai segala sesuatunya.
Aku mulai meracau.
Bergegas mencari padanan hidup itu ternyata sulit. Aku harus memulainya dari keberpijakan yang semu. Meraba-raba, dan tidak ada yang membantuku untuk mengatakan “iya..”. Anggap saja aku mulai sendiri, termakan oleh pikiranku sendiri.
Aku melemah.
Musik ini tidak bisa menolongku. Aku tetap tidak beranjak dari kehampaan yang tidak kuhadirkan di hadapan orang lain.
Aku ingin berteriak, melepas segala ketakutanku. Ketakutan yang belum tentu terjadi, dan hanya akumulasi dari apa yang kupikirkan.
Dan aku merasa menjadi makhluk bodoh yang tetap mengikuti kebodohanku.
Sekelilingku gelap, tapi aku tidak buta.
Sebarisanku menjadi sedikit sama, tapi tidak seirama, hanya berjalan pada arah yang berbeda.
Aku menyadari, bahwa apa yang telah dibuat dan dirancang tidak begitu mudah untuk diakui menjadi hak milik kita.
Sekelilingku terang, dan aku mulai menutup mata.
Sebarisanku mulai mencari cara untuk berjalan pada langkah yang beriringan.
Aku menyadari, bahwa apa yang telah dibuat dan dirancang begitu sulit untuk dijadikan bagian dalam diri kita.
Darah di dalam nadiku terus bergerak, mencoba untuk memberiku peringatan bahwa aku tidak bisa diam.
Jika darah itu bergerak, maka akan ada kata lain yang disebut dengan nafas.
Dan jika nafas itu berhembus, maka akan ada rambu lain yang menyatakan bahwa aku harus tetap berdiri.
Dipaksa untuk mengerti bahwa yang lainnya juga masih berjalan.
Entah sendiri, berpasangan, berteman, bergandengan, berkonflik, bertengkar, berdamai, atau tetap bergulat pada sebuah masa, di mana tidak ada lagi kerinduan untuk mencoba sesuatu yang baru.
Ada kehampaan dan sedikit kekosongan yang mencoba mengisi ruang dalam diriku. Aku sampai pada titik yang mendorongku untuk terjun pada suatu keadaan yang menjepit.
Aku bimbang, bingung, dan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk memulai segala sesuatunya.
Aku mulai meracau.
Bergegas mencari padanan hidup itu ternyata sulit. Aku harus memulainya dari keberpijakan yang semu. Meraba-raba, dan tidak ada yang membantuku untuk mengatakan “iya..”. Anggap saja aku mulai sendiri, termakan oleh pikiranku sendiri.
Aku melemah.
Musik ini tidak bisa menolongku. Aku tetap tidak beranjak dari kehampaan yang tidak kuhadirkan di hadapan orang lain.
Aku ingin berteriak, melepas segala ketakutanku. Ketakutan yang belum tentu terjadi, dan hanya akumulasi dari apa yang kupikirkan.
Dan aku merasa menjadi makhluk bodoh yang tetap mengikuti kebodohanku.
Rabu, 14 September 2011
Seandainya Jika dan Kalau..
Seandainya, dan hanya jika aku berani bertanya tentang apa pun itu. Tapi sayang, tidak ada sedikit pun keberanian untuk melakukannya.
Seharusnya tidak pantas kalau aku menggunakan kata-kata “jika”, “kalau”, atau apa pun yang berdekatan dengan sinonimnya. Karena itu tandanya, aku tidak suka dengan beberapa kejadian dalam hidupku. Dalam rumusan matematika, bisa dianalogikan seperti ini:
Kalau saja aku putih.
Yang menciptakan putih adalah Dia.
Aku tidak suka dengan putih, sama artinya aku tidak suka dengan caraNya mendandaniku.
Sama saja dengan tiap keadaan dalam hidupku. Kalau saja, seandainya, semuanya bisa sejalan dengan apa yang kupikirkan. Entah jadi apa nantinya?
Aku yakin jika pada awalnya, pada akhirnya, dan pada umumnya, semua tidak akan sesuai dengan apa yang diberikan pada kita. Selalu saja ada pembantahan yang kadang harus dibenarkan oleh kita yang menjalaninya. Jika pada akhirnya tidak sesuai dengan harapan atau pun estimasi dari apa yang dipikirkan oleh pikiran kita, selalu saja ada pelontaran yang biasanya dikenal dengan nama keluhan.
Hhhhh..
Begitu biasanya suaranya diperdengarkan. Lirih, dan sering kali mengganggu beberapa kinerja yang telah disepakati sebelumnya. Pada saat itu, kita terjerembab pada satu titik yang membuat langkah terhenti. Merasa lelah, dan tidak ingin berbuat apa pun. Merasa kacau dengan situasi yang tidak mendukung, dan mulai melontarkan berbagai macam alasan untuk membenarkan bahwa keadaan tidak berjalan dengan baik.
Itu kan hanya pembenaran saja sebenarnya.
Apa yang sebenarnya diharapkan dari sebuah kehidupan? Selalu berbahagia dan mendapat apa yang kita inginkan? Betapa mudahnya jika semua yang kita inginkan akan kita dapatkan tanpa usaha yang maksimal. Boleh saja berandai-andai bahwa suatu saat nanti, Gunung Kilimanjaro akan menjadi hak milikku. Boleh saja aku berangan untuk menjadi gadis putih, berhidung mancung, dan selalu dipandang pintar oleh kaum adam. Andaikan saja aku tidak tinggi, mungkin saja aku bisa menikmati perjalanan jika aku harus naik bus pariwisata (karena kakiku tidak akan terlipat pasrah di antara badanku dan kursi di depanku). Andaikan saja aku lahir dari keluarga yang kaya raya (ini adalah harapan muluk setiap orang yang menggangap bahwa semua akan menjadi lebih menarik dan indah jika dijalani dengan uang), mungkin aku tidak akan duduk di sini. Aku pasti sedang duduk di atas bangku helikopter yang membawaku berkeliling di atas udara untuk sekedar memandangi pepohonan yang semakin berkurang jumlahnya. Mungkin saja semua itu terjadi.
Namun bedakan antara mimpi dan sebuah harapan yang tidak seharusnya melawan kodrat yang telah digariskan.
Jika hidup begitu mudah, aku tidak akan bertemu dengan orang-orang yang berebutan membagi kisah hidupnya padaku. Jika hidup bisa dihubungkan dengan mudah oleh perkataan “seandainya begini”, “jika saja”, “kalau aku..”, aku yakin, tidak akan ada warna hidup yang menarik untuk ditonton. Tidak akan ada yang menangis. Karena tidak ada yang menangis, maka tidak akan ada yang beranjak dewasa. Dan semuanya akan tampak sama, monoton. Semua tampil sempurna.
Pertanyaan yang kugubah dan kusadur untuk mempertanyakan apa yang tidak seharusnya kumiliki membuat aku tersadar, bahwa apa yang ingin kumiliki harus kuusahakan. Hanya itu satu-satunya cara membuat semua pengandaian itu menjadi nyata. Meski pada akhirnya, aku hanya bisa mempertanyakan itu pada orang yang belum bisa memberikan jawaban pasti. Tapi aku yakin, proses tersebut membuat aku percaya bahwa hidup diciptakan untuk merealisasikan semua khayalan, bukan hanya berjalan lurus, tegak, dan tidak mengambil resiko apa pun.
Seharusnya tidak pantas kalau aku menggunakan kata-kata “jika”, “kalau”, atau apa pun yang berdekatan dengan sinonimnya. Karena itu tandanya, aku tidak suka dengan beberapa kejadian dalam hidupku. Dalam rumusan matematika, bisa dianalogikan seperti ini:
Kalau saja aku putih.
Yang menciptakan putih adalah Dia.
Aku tidak suka dengan putih, sama artinya aku tidak suka dengan caraNya mendandaniku.
Sama saja dengan tiap keadaan dalam hidupku. Kalau saja, seandainya, semuanya bisa sejalan dengan apa yang kupikirkan. Entah jadi apa nantinya?
Aku yakin jika pada awalnya, pada akhirnya, dan pada umumnya, semua tidak akan sesuai dengan apa yang diberikan pada kita. Selalu saja ada pembantahan yang kadang harus dibenarkan oleh kita yang menjalaninya. Jika pada akhirnya tidak sesuai dengan harapan atau pun estimasi dari apa yang dipikirkan oleh pikiran kita, selalu saja ada pelontaran yang biasanya dikenal dengan nama keluhan.
Hhhhh..
Begitu biasanya suaranya diperdengarkan. Lirih, dan sering kali mengganggu beberapa kinerja yang telah disepakati sebelumnya. Pada saat itu, kita terjerembab pada satu titik yang membuat langkah terhenti. Merasa lelah, dan tidak ingin berbuat apa pun. Merasa kacau dengan situasi yang tidak mendukung, dan mulai melontarkan berbagai macam alasan untuk membenarkan bahwa keadaan tidak berjalan dengan baik.
Itu kan hanya pembenaran saja sebenarnya.
Apa yang sebenarnya diharapkan dari sebuah kehidupan? Selalu berbahagia dan mendapat apa yang kita inginkan? Betapa mudahnya jika semua yang kita inginkan akan kita dapatkan tanpa usaha yang maksimal. Boleh saja berandai-andai bahwa suatu saat nanti, Gunung Kilimanjaro akan menjadi hak milikku. Boleh saja aku berangan untuk menjadi gadis putih, berhidung mancung, dan selalu dipandang pintar oleh kaum adam. Andaikan saja aku tidak tinggi, mungkin saja aku bisa menikmati perjalanan jika aku harus naik bus pariwisata (karena kakiku tidak akan terlipat pasrah di antara badanku dan kursi di depanku). Andaikan saja aku lahir dari keluarga yang kaya raya (ini adalah harapan muluk setiap orang yang menggangap bahwa semua akan menjadi lebih menarik dan indah jika dijalani dengan uang), mungkin aku tidak akan duduk di sini. Aku pasti sedang duduk di atas bangku helikopter yang membawaku berkeliling di atas udara untuk sekedar memandangi pepohonan yang semakin berkurang jumlahnya. Mungkin saja semua itu terjadi.
Namun bedakan antara mimpi dan sebuah harapan yang tidak seharusnya melawan kodrat yang telah digariskan.
Jika hidup begitu mudah, aku tidak akan bertemu dengan orang-orang yang berebutan membagi kisah hidupnya padaku. Jika hidup bisa dihubungkan dengan mudah oleh perkataan “seandainya begini”, “jika saja”, “kalau aku..”, aku yakin, tidak akan ada warna hidup yang menarik untuk ditonton. Tidak akan ada yang menangis. Karena tidak ada yang menangis, maka tidak akan ada yang beranjak dewasa. Dan semuanya akan tampak sama, monoton. Semua tampil sempurna.
Pertanyaan yang kugubah dan kusadur untuk mempertanyakan apa yang tidak seharusnya kumiliki membuat aku tersadar, bahwa apa yang ingin kumiliki harus kuusahakan. Hanya itu satu-satunya cara membuat semua pengandaian itu menjadi nyata. Meski pada akhirnya, aku hanya bisa mempertanyakan itu pada orang yang belum bisa memberikan jawaban pasti. Tapi aku yakin, proses tersebut membuat aku percaya bahwa hidup diciptakan untuk merealisasikan semua khayalan, bukan hanya berjalan lurus, tegak, dan tidak mengambil resiko apa pun.
Selasa, 13 September 2011
Rumahku, Republikku (mu)...
Sebuah pesan singkat yang sama sekali tidak kunyana bisa keluar dari bibir ayahku. Seorang pendiam yang sama sekali tidak pernah memberikan wejangan, bahkan ketika anaknya harus berada dalam titik buruk dalam hidupnya.
“Siapa yang mau melarang kamu telanjang di rumahmu sendiri? Bahkan SBY pun bisa kamu usir dari rumahmu..”
Setelah itu dia diam.
Aku juga diam. Bola mataku sibuk berputar mengikuti gerakan tangannya menaikturunkan sangkar burung dan membawanya ke halaman belakang untuk dibersihkan. Sesekali ia mampir ke dapur untuk mengambil tempe yang baru digoreng ibuku.
Seharusnya pikiranku tidak hanya berhenti pada pemandangan biasa yang sering terjadi di dalam rumahku. Ayah dan ibuku sengaja merancang bentukan dapur dan halaman belakang untuk saling berhadapan. Hanya ada pembatas kaca bening di antaranya. Dari kaca itu, ibuku bisa tetap menggoreng, merebus, memotong, membuka lemari pendingin, atau apa pun itulah namanya sembari menanyakan hal-hal sepele pada bapakku yang asyik menyembur-nyembur makanan burung supaya kulit Cannary Set yang tidak dibutuhkan bisa jatuh. Aku melewatkan poin penting apa yang dimaksud oleh si Bapak. Mengapa dia menyebutkan nama SBY (dia tidak terlalu baik untuk bisa memasuki rumah kami. Aku yakin ibuku akan luar biasa terkejut ketika melihat mobil-mobil patroli berbaris mulai dari depan rumah kami hingga sungai yang melintas di ujung jalan. “Pah,Pah. Opo kui? Ono opo to, Pa?” Dan orang-orang yang berdiam di rumahku tidak ada yang menyukai kegiatan ingin tahu ibuku itu.)
Aku harus memajukan otakku untuk sedikit mengerti apa yang dimaksudkan olehnya, sehingga mulut si Bapak bisa mengeluarkan pesan tadi. Setelah menimbang-nimbang, pikiranku lari pada beberapa rumah di sekitaranku.
Tetangga sebelah kiri rumahku. Bangunannya tingkat, pagarnya berwarna merah (kalau belum berubah). Aku tidak tahu berapa luas tanahnya, aku rasa sama dengan rumahku, karena aku tinggal di kompleks perumahan. Tapi tetap saja, hingga sebesar ini, aku tidak tahu luas tanah dan bangunan rumahku menginjak angka berapa. Pun dengan bangunan tetanggaku itu. Di dalamnya dihuni empat orang. Ayah, Ibu, dan dua anak laki-laki. Aku ingat benar, nama anak yang pertama adalah Iril. Hanya beda satu huruf dengan namaku. Ibunya bilang, dia suka melihat tingkahku waktu aku kecil, maka dipakailah namaku untuk anaknya (meskipun sedikit berbeda, namun ia tetap menggunakan sebagian dari namaku dan mengganti huruf depannya, karena dia baru sadar bahwa aku ini adalah perempuan, bukan seperti anaknya yang berkelamin lelaki).
Dan nama anak yang kedua adalah Raka. Sekarang keduanya telah beranjak besar, dan tidak lagi suka membuka semua pakaiannya kemudian lari-lari di dalam rumahnya. Biasanya mereka melakukan ritual pemanggilan namaku dengan adegan telanjang itu. “Mbak Ariel, main yuuuk...” . Mereka akan selalu melakukan hal yang sama ketika sore. Berdiri di pembatas rumah kami sambil berteriak-teriak mengajakku bermain bersama mereka. Aku heran, apakah mereka tidak berpikir bahwa yang diajaknya bermain adalah remaja SMA yang tidak selayaknya diajak bermain dengan anak kelas 5 dan 2 SD yang berlari-larian di dalam rumahnya sambil telanjang?
Bergeser pada tetangga sebelah kananku. Rumahnya juga tingkat. Dihuni oleh banyak orang, dan sekarang lebih banyak lagi. Dulu waktu aku kecil, masih ada Buyut, Bu Bambang, dan tiga orang anaknya yang sudah dewasa. Sekarang, tiga anak dewasa itu menghasilkan dua orang cucu dari tiap-tiap individunya. Jadi, total isi rumah itu adalah 12 orang, ditambah pasangan si tiga anak dewasa, dikurangi Buyut yang sudah meninggal.
Mereka adem ayem. Tidak pernah memanggilku dengan ritual telanjang atau hal-hal lain yang membuatku berpikir bahwa mereka adalah orang aneh. Hanya saja, yang membuatku heran adalah, betapa rapatnya rumah itu. Jendelanya tidak pernah dibuka. Dan selalu gelap. Waktu kecil dulu, aku tidak pernah mau dititipkan di dalam rumah itu jika ayah atau ibuku belum pulang. Di dalamnya gelap. Jika ada lampu pun, semuanya berwarna kuning temaram. Yang terang hanya taman di lantai paling atas. Aku tidak boleh menuju ke taman itu. Bu Bambang selalu bilang kalau aku akan jatuh dari atas sana jika aku berani naik di atasnya.
Dari kamera mataku, dua rumah, tiga bersama rumahku, ada benang merah yang bisa kuambil sama rata. Di rumah pertama, dua anak itu selalu berjalan dan berlarian dalam keadaan telanjang. Mereka tidak akan melakukan itu di luar pagar rumah mereka. Di rumah kedua, Bu Bambang bisa mengusirku dari taman yang dirawatnya (seharusnya dia bisa mengatakan bahwa “jangan dicabut ya daun atau bunganya”, bukan mengatakan aku akan jatuh ke lantai satu jika aku berani masuk ke taman itu).
Di rumahku, hingga kelas 4 SD, aku juga selalu memakai kaus dan celana dalam saja ketika pulang sekolah. Di rumahku, aku selalu mencabut bunga yang ditanam ibuku. Di rumahku, aku bisa mematung berjam-jam di dalam kamar mandi. Di rumahku, aku bisa tidur sampai mati. Semuanya bisa kulakukan di rumahku, tanpa harus pusing apakah orang lain akan marah padaku atau tidak.
Mungkin jika besok aku berhasil memiliki rumah sendiri, aku akan menaruh kuda cokelat besar di belakang rumahku. Membuat dapur seluas lapangan futsal. Menanam sedikit “daun segar” untuk kemudian dikeringkan. Membuat kolam di bawah rumahku. Atau bahkan mewujudkan mimpi si Bapak, bahwa SBY akan bertandang ke rumahku, dan aku bisa mempersilahkannya pergi.
Sesederhana penangkapanku akan kata-kata si Bapak. Aku merangkumnya menjadi sebuah mimpi dan motivasi bahwa aku bisa melakukan apa pun di dalam rumahku, bahkan ketika rumah itu dalam keadaan terburuknya, entah bocor, berukuran kecil, atau ada retakan di dindingnya.
Rumahku sendiri..
Sebuah rumah yang bisa kudapat dari mimpi yang kujadikan kenyataan.
“Siapa yang mau melarang kamu telanjang di rumahmu sendiri? Bahkan SBY pun bisa kamu usir dari rumahmu..”
Setelah itu dia diam.
Aku juga diam. Bola mataku sibuk berputar mengikuti gerakan tangannya menaikturunkan sangkar burung dan membawanya ke halaman belakang untuk dibersihkan. Sesekali ia mampir ke dapur untuk mengambil tempe yang baru digoreng ibuku.
Seharusnya pikiranku tidak hanya berhenti pada pemandangan biasa yang sering terjadi di dalam rumahku. Ayah dan ibuku sengaja merancang bentukan dapur dan halaman belakang untuk saling berhadapan. Hanya ada pembatas kaca bening di antaranya. Dari kaca itu, ibuku bisa tetap menggoreng, merebus, memotong, membuka lemari pendingin, atau apa pun itulah namanya sembari menanyakan hal-hal sepele pada bapakku yang asyik menyembur-nyembur makanan burung supaya kulit Cannary Set yang tidak dibutuhkan bisa jatuh. Aku melewatkan poin penting apa yang dimaksud oleh si Bapak. Mengapa dia menyebutkan nama SBY (dia tidak terlalu baik untuk bisa memasuki rumah kami. Aku yakin ibuku akan luar biasa terkejut ketika melihat mobil-mobil patroli berbaris mulai dari depan rumah kami hingga sungai yang melintas di ujung jalan. “Pah,Pah. Opo kui? Ono opo to, Pa?” Dan orang-orang yang berdiam di rumahku tidak ada yang menyukai kegiatan ingin tahu ibuku itu.)
Aku harus memajukan otakku untuk sedikit mengerti apa yang dimaksudkan olehnya, sehingga mulut si Bapak bisa mengeluarkan pesan tadi. Setelah menimbang-nimbang, pikiranku lari pada beberapa rumah di sekitaranku.
Tetangga sebelah kiri rumahku. Bangunannya tingkat, pagarnya berwarna merah (kalau belum berubah). Aku tidak tahu berapa luas tanahnya, aku rasa sama dengan rumahku, karena aku tinggal di kompleks perumahan. Tapi tetap saja, hingga sebesar ini, aku tidak tahu luas tanah dan bangunan rumahku menginjak angka berapa. Pun dengan bangunan tetanggaku itu. Di dalamnya dihuni empat orang. Ayah, Ibu, dan dua anak laki-laki. Aku ingat benar, nama anak yang pertama adalah Iril. Hanya beda satu huruf dengan namaku. Ibunya bilang, dia suka melihat tingkahku waktu aku kecil, maka dipakailah namaku untuk anaknya (meskipun sedikit berbeda, namun ia tetap menggunakan sebagian dari namaku dan mengganti huruf depannya, karena dia baru sadar bahwa aku ini adalah perempuan, bukan seperti anaknya yang berkelamin lelaki).
Dan nama anak yang kedua adalah Raka. Sekarang keduanya telah beranjak besar, dan tidak lagi suka membuka semua pakaiannya kemudian lari-lari di dalam rumahnya. Biasanya mereka melakukan ritual pemanggilan namaku dengan adegan telanjang itu. “Mbak Ariel, main yuuuk...” . Mereka akan selalu melakukan hal yang sama ketika sore. Berdiri di pembatas rumah kami sambil berteriak-teriak mengajakku bermain bersama mereka. Aku heran, apakah mereka tidak berpikir bahwa yang diajaknya bermain adalah remaja SMA yang tidak selayaknya diajak bermain dengan anak kelas 5 dan 2 SD yang berlari-larian di dalam rumahnya sambil telanjang?
Bergeser pada tetangga sebelah kananku. Rumahnya juga tingkat. Dihuni oleh banyak orang, dan sekarang lebih banyak lagi. Dulu waktu aku kecil, masih ada Buyut, Bu Bambang, dan tiga orang anaknya yang sudah dewasa. Sekarang, tiga anak dewasa itu menghasilkan dua orang cucu dari tiap-tiap individunya. Jadi, total isi rumah itu adalah 12 orang, ditambah pasangan si tiga anak dewasa, dikurangi Buyut yang sudah meninggal.
Mereka adem ayem. Tidak pernah memanggilku dengan ritual telanjang atau hal-hal lain yang membuatku berpikir bahwa mereka adalah orang aneh. Hanya saja, yang membuatku heran adalah, betapa rapatnya rumah itu. Jendelanya tidak pernah dibuka. Dan selalu gelap. Waktu kecil dulu, aku tidak pernah mau dititipkan di dalam rumah itu jika ayah atau ibuku belum pulang. Di dalamnya gelap. Jika ada lampu pun, semuanya berwarna kuning temaram. Yang terang hanya taman di lantai paling atas. Aku tidak boleh menuju ke taman itu. Bu Bambang selalu bilang kalau aku akan jatuh dari atas sana jika aku berani naik di atasnya.
Dari kamera mataku, dua rumah, tiga bersama rumahku, ada benang merah yang bisa kuambil sama rata. Di rumah pertama, dua anak itu selalu berjalan dan berlarian dalam keadaan telanjang. Mereka tidak akan melakukan itu di luar pagar rumah mereka. Di rumah kedua, Bu Bambang bisa mengusirku dari taman yang dirawatnya (seharusnya dia bisa mengatakan bahwa “jangan dicabut ya daun atau bunganya”, bukan mengatakan aku akan jatuh ke lantai satu jika aku berani masuk ke taman itu).
Di rumahku, hingga kelas 4 SD, aku juga selalu memakai kaus dan celana dalam saja ketika pulang sekolah. Di rumahku, aku selalu mencabut bunga yang ditanam ibuku. Di rumahku, aku bisa mematung berjam-jam di dalam kamar mandi. Di rumahku, aku bisa tidur sampai mati. Semuanya bisa kulakukan di rumahku, tanpa harus pusing apakah orang lain akan marah padaku atau tidak.
Mungkin jika besok aku berhasil memiliki rumah sendiri, aku akan menaruh kuda cokelat besar di belakang rumahku. Membuat dapur seluas lapangan futsal. Menanam sedikit “daun segar” untuk kemudian dikeringkan. Membuat kolam di bawah rumahku. Atau bahkan mewujudkan mimpi si Bapak, bahwa SBY akan bertandang ke rumahku, dan aku bisa mempersilahkannya pergi.
Sesederhana penangkapanku akan kata-kata si Bapak. Aku merangkumnya menjadi sebuah mimpi dan motivasi bahwa aku bisa melakukan apa pun di dalam rumahku, bahkan ketika rumah itu dalam keadaan terburuknya, entah bocor, berukuran kecil, atau ada retakan di dindingnya.
Rumahku sendiri..
Sebuah rumah yang bisa kudapat dari mimpi yang kujadikan kenyataan.
Minggu, 04 September 2011
Mama Oke Punya..!!
Satu dari beberapa hal yang paling kusesalkan dalam hidupku adalah ketika aku menjadi anak baik-baik (di depan ibuku). Tidak seharusnya aku melakukannya. Menjadi sesosok yang berubah sedemikian rupa adalah satu hal yang tidak membuatku nyaman.
Mengapa demikian?
Begini. Ibuku. Dia adalah wanita (ya iyalah). Lahir 12 September 1954. Aku ga yakin apakah di tahun itu ia juga turut mengenal yang namanya minuman keras, rokok, bir,pulang pagi, atau apa pun itu yang dianggap tidak baik. Yang aku tahu, dia suka memamerkan apa yang dinamakan dengan wanita. Rok mini, sepatu hak tinggi, rambut sebokong, kaca mata besar, dan tas segede gambreng. Owalah, Ma. Kalau cuma kaya gitu aja aku juga bisa kaleee. Tapi aku tau malu lah ya, kulitku ga seoke punyamu.
Yang aku tahu, dia adalah orang yang memiliki cara terbaik untuk selalu membuatku kembali padanya. Cerewet? Dia sangat cerewet. Gemuk? Akhirnya dia mengalah pada berat badan yang tidak bisa lagi diatur. Ga penting? Dia suka menanyakan sesuatu yang ga penting. Beneran deh. Rasa ingin taunya luar biasa tinggi. Ia ingin selalu menjadi orang nomor satu yang tau gosip terhangat di kompleks perumahan kami (tapi herannya, dia ga pernah ikut nimbrung sama ibu-ibu perumahan itu). Ia harus selalu tahu apa yang kumakan tiap hari (dalam waktu lima tahun ini kan kita hidup terpisah). Ia akan selalu marah kalau berat badanku di bawah 55 kilogram. Ia akan selalu memaksaku untuk mencari barang-barang rumah tangga yang jauh lebih murah ketimbang di Malang. Ngeyel? Sampai detik ini, akhirnya aku baru tahu bakat ngeyelku itu turun itu dari siapa.
Selama kurang lebih tujuh belas tahun lamanya dia memandangiku, tahu setiap langkah yang kuambil, dan selalu mengerti apa yang kuperbuat. Dengan gaya konvensionalnya, dia berusaha menjadi seorang ibu yang harus selalu tahu tentang perkembangan anaknya. Kadang menyenangkan, namun dalam beberapa tahap perkembangan diriku, aku tidak merasakan kenyamanan ketika dia selalu berusaha membuat aku jengah dengan apa yang dikatakannya.
Lepas dari usia itu, aku beranjak menjauh dari hidupnya, mencoba cara lain untuk bertahan hidup di tanah orang. Hahahahahahahaha.. Ternyata kacau! Beberapa bulan pertama, aku selalu merindukan sapaan hangat “gimana tadi di sekolah, Nduk?”. Di Yogya, sama sekali tidak ada yang menanyakan keberadaanku, bahkan ketika aku hidup bersama dengan bibiku.
Karena bakat selalu ingin tahunya, ibuku akan selalu bertanya tentang hari-hariku. Dan dengan wajah Cinanya yang menjengkelkan, dia akan mendengarkan aku mengoceh ke sana ke mari (Mama, aku selalu bertanya dalam hati, kenapa mata sipitmu itu selalu membuat aku pengen njiwit? Mata itu harus dibesarkan sedikit, biar ga terkesan sinis). Dia tidak pernah menanggapi dengan baik sih. Ketika aku bercerita tentang guruku yang menjengkelkan, dia hanya mendengarkan sambil memotong tempe atau menggoreng empal. Ga tau dia dong atau enggak, tapi akhir dari pembicaraan kita selalu begini “yo wes, ganti baju, cuci tangan, cuci kaki, terus makan.” Njuk opo gunane crito?
* Ganti baju, cuci tangan, cuci kaki. Percaya atau tidak, aku masih mendengarkan dia berkata seperti itu ketika aku berusia 17 tahun.
Harus kuakui, bakat memasaknya luar biasa baik. Tangannya gemuk gempal, selalu terlihat pas ketika memegang daging ayam untuk ditumbuk. Bawang putih dan bawang merah akan selalu teriris rapi ketika pisau besarnya itu mulai bersuara tek tek tek tek, berirama, makin lama makin cepat (ga tau deh itu jarinya ikut kepotong atau enggak. Ngerti-ngerti udah abis, Ma?). Aku paling suka waktu dia masak oseng-oseng buncis pake daging giling. Rasanya pedes banggett. GGOOOODDD!! Enak banget rasanya
Dan yang paling kusukai dari dia adalah, dia tahu persis aku ga suka ikan. Jadi, minyak, alat-alat dapur, dan piring-piring yang sekiranya berbau atau bekas dipakai untuk mengolah ikan, tidak akan pernah didekatkan dengan piringku. Dia tidak akan pernah memakai wajan yang sama untuk menggoreng ikan dan tempe. Ikan itu akan ditaruh di piring terjelek yang dimilikinya, dan akan disembunyikan biar baunya ge menyebar. Sementara tempe gorengnya akan diletakkan di atas piring oval cantik, ditutup dengan tudung saji, atau dibuat sambel tempe. Ga ada yang ga enak deh masakannya. Semuanya, ENAK!
Namun sayang, dalam beberapa kesempatan, dia kehilangan sosok seorang Ariel yang ia kenal. Aku terlalu banyak dirubah oleh lingkungan baru yang kukenal. Sebenarnya aku sudah menunjukkan gejala pemberontakan dari jaman SMP, tapi hal ini sempat terendap karena masih ada yang mengawasi. Berhubung di Yogya pengawasan itu semakin mengendor, jadilah si Ariel berubah menjadi gadis bodoh yang mau-maunya bilang iya-iya aja untuk semua jenis kenakalan. Apa sih yang belum pernah kulakukan? Mmmm.. Kecuali penggunaan klenik dan sejenisnya, tampaknya semua jenis kenakalan remaja udah pernah kucoba. Tapi ya gitu, karena nakalnya ga total, makannya aku harus berubah menjadi malaikat ketika berada di depan ibuku.
Biasanya aku pulang ke Malang dua bulan sekali, dan dalam waktu dua minggu, aku berusaha menjadi anak gadis yang diidam-idamkannya. At least, dia bisa punya bahan menarik untuk diceritakan di depan ibu-ibu perumahan waktu aku pulang. “Anak saya udah mau skripsi. Anak saya di UGM. Anak saya tambah gemuk. Anak saya.. Anak saya..”. Ga mungkin waktu aku pulang, dia harus bercerita pada teman-temannya “Anak saya itu ga suka pulang malam, pagi terus pulangnya. Anak saya itu ga lulus-lulus. Anak saya itu kaya carok..”
Membuatnya berpikiran positif tentang apa yang kulakukan bukanlah hal yang mudah. Selalu ada saja alasan yang dibuatnya untuk menjegal argumenku. Bukannya aku kalah dan ga bisa berdebat, tapi ada baiknya ketika aku berusaha diam, dan mengambil celah untuk membuatnya terpaku dan akhirnya bisa berkata “anakku hebat..”, apa pun bentukku di depannya.
Maaf Mama, banyak hal yang kusimpan darimu semenjak kita berpisah. Aku tahu, kau masih menyukai bentukanku saat aku remaja, menurut dan selalu diam, tapi tidak bisa selamanya aku bisa menjadi gadis impianmu. Seperti saat pagi ini kau berkata padaku “Mama kok senengan kowe pas ndisik SMP si, Riel? Manutan. Saiki kowe ki ngeyelan.”. Aku hanya kembali tersenyum mendengarnya. Tidak berusaha memperdebatkannya. Mama, tidak ingatkah kau waktu aku lari dari rumah selama beberapa hari? Saat itu kau selalu beranggapan bahwa jika aku diam berarti aku menurut padamu. Tentu kau tidak ingin hal itu terulang lagi kan?
hhhmmmm...
Tapi terlepas dari itu semua, kau tetap mama yang oke.. Bahkan ketika kau luar biasa ngeyel..
Mengapa demikian?
Begini. Ibuku. Dia adalah wanita (ya iyalah). Lahir 12 September 1954. Aku ga yakin apakah di tahun itu ia juga turut mengenal yang namanya minuman keras, rokok, bir,pulang pagi, atau apa pun itu yang dianggap tidak baik. Yang aku tahu, dia suka memamerkan apa yang dinamakan dengan wanita. Rok mini, sepatu hak tinggi, rambut sebokong, kaca mata besar, dan tas segede gambreng. Owalah, Ma. Kalau cuma kaya gitu aja aku juga bisa kaleee. Tapi aku tau malu lah ya, kulitku ga seoke punyamu.
Yang aku tahu, dia adalah orang yang memiliki cara terbaik untuk selalu membuatku kembali padanya. Cerewet? Dia sangat cerewet. Gemuk? Akhirnya dia mengalah pada berat badan yang tidak bisa lagi diatur. Ga penting? Dia suka menanyakan sesuatu yang ga penting. Beneran deh. Rasa ingin taunya luar biasa tinggi. Ia ingin selalu menjadi orang nomor satu yang tau gosip terhangat di kompleks perumahan kami (tapi herannya, dia ga pernah ikut nimbrung sama ibu-ibu perumahan itu). Ia harus selalu tahu apa yang kumakan tiap hari (dalam waktu lima tahun ini kan kita hidup terpisah). Ia akan selalu marah kalau berat badanku di bawah 55 kilogram. Ia akan selalu memaksaku untuk mencari barang-barang rumah tangga yang jauh lebih murah ketimbang di Malang. Ngeyel? Sampai detik ini, akhirnya aku baru tahu bakat ngeyelku itu turun itu dari siapa.
Selama kurang lebih tujuh belas tahun lamanya dia memandangiku, tahu setiap langkah yang kuambil, dan selalu mengerti apa yang kuperbuat. Dengan gaya konvensionalnya, dia berusaha menjadi seorang ibu yang harus selalu tahu tentang perkembangan anaknya. Kadang menyenangkan, namun dalam beberapa tahap perkembangan diriku, aku tidak merasakan kenyamanan ketika dia selalu berusaha membuat aku jengah dengan apa yang dikatakannya.
Lepas dari usia itu, aku beranjak menjauh dari hidupnya, mencoba cara lain untuk bertahan hidup di tanah orang. Hahahahahahahaha.. Ternyata kacau! Beberapa bulan pertama, aku selalu merindukan sapaan hangat “gimana tadi di sekolah, Nduk?”. Di Yogya, sama sekali tidak ada yang menanyakan keberadaanku, bahkan ketika aku hidup bersama dengan bibiku.
Karena bakat selalu ingin tahunya, ibuku akan selalu bertanya tentang hari-hariku. Dan dengan wajah Cinanya yang menjengkelkan, dia akan mendengarkan aku mengoceh ke sana ke mari (Mama, aku selalu bertanya dalam hati, kenapa mata sipitmu itu selalu membuat aku pengen njiwit? Mata itu harus dibesarkan sedikit, biar ga terkesan sinis). Dia tidak pernah menanggapi dengan baik sih. Ketika aku bercerita tentang guruku yang menjengkelkan, dia hanya mendengarkan sambil memotong tempe atau menggoreng empal. Ga tau dia dong atau enggak, tapi akhir dari pembicaraan kita selalu begini “yo wes, ganti baju, cuci tangan, cuci kaki, terus makan.” Njuk opo gunane crito?
* Ganti baju, cuci tangan, cuci kaki. Percaya atau tidak, aku masih mendengarkan dia berkata seperti itu ketika aku berusia 17 tahun.
Harus kuakui, bakat memasaknya luar biasa baik. Tangannya gemuk gempal, selalu terlihat pas ketika memegang daging ayam untuk ditumbuk. Bawang putih dan bawang merah akan selalu teriris rapi ketika pisau besarnya itu mulai bersuara tek tek tek tek, berirama, makin lama makin cepat (ga tau deh itu jarinya ikut kepotong atau enggak. Ngerti-ngerti udah abis, Ma?). Aku paling suka waktu dia masak oseng-oseng buncis pake daging giling. Rasanya pedes banggett. GGOOOODDD!! Enak banget rasanya
Dan yang paling kusukai dari dia adalah, dia tahu persis aku ga suka ikan. Jadi, minyak, alat-alat dapur, dan piring-piring yang sekiranya berbau atau bekas dipakai untuk mengolah ikan, tidak akan pernah didekatkan dengan piringku. Dia tidak akan pernah memakai wajan yang sama untuk menggoreng ikan dan tempe. Ikan itu akan ditaruh di piring terjelek yang dimilikinya, dan akan disembunyikan biar baunya ge menyebar. Sementara tempe gorengnya akan diletakkan di atas piring oval cantik, ditutup dengan tudung saji, atau dibuat sambel tempe. Ga ada yang ga enak deh masakannya. Semuanya, ENAK!
Namun sayang, dalam beberapa kesempatan, dia kehilangan sosok seorang Ariel yang ia kenal. Aku terlalu banyak dirubah oleh lingkungan baru yang kukenal. Sebenarnya aku sudah menunjukkan gejala pemberontakan dari jaman SMP, tapi hal ini sempat terendap karena masih ada yang mengawasi. Berhubung di Yogya pengawasan itu semakin mengendor, jadilah si Ariel berubah menjadi gadis bodoh yang mau-maunya bilang iya-iya aja untuk semua jenis kenakalan. Apa sih yang belum pernah kulakukan? Mmmm.. Kecuali penggunaan klenik dan sejenisnya, tampaknya semua jenis kenakalan remaja udah pernah kucoba. Tapi ya gitu, karena nakalnya ga total, makannya aku harus berubah menjadi malaikat ketika berada di depan ibuku.
Biasanya aku pulang ke Malang dua bulan sekali, dan dalam waktu dua minggu, aku berusaha menjadi anak gadis yang diidam-idamkannya. At least, dia bisa punya bahan menarik untuk diceritakan di depan ibu-ibu perumahan waktu aku pulang. “Anak saya udah mau skripsi. Anak saya di UGM. Anak saya tambah gemuk. Anak saya.. Anak saya..”. Ga mungkin waktu aku pulang, dia harus bercerita pada teman-temannya “Anak saya itu ga suka pulang malam, pagi terus pulangnya. Anak saya itu ga lulus-lulus. Anak saya itu kaya carok..”
Membuatnya berpikiran positif tentang apa yang kulakukan bukanlah hal yang mudah. Selalu ada saja alasan yang dibuatnya untuk menjegal argumenku. Bukannya aku kalah dan ga bisa berdebat, tapi ada baiknya ketika aku berusaha diam, dan mengambil celah untuk membuatnya terpaku dan akhirnya bisa berkata “anakku hebat..”, apa pun bentukku di depannya.
Maaf Mama, banyak hal yang kusimpan darimu semenjak kita berpisah. Aku tahu, kau masih menyukai bentukanku saat aku remaja, menurut dan selalu diam, tapi tidak bisa selamanya aku bisa menjadi gadis impianmu. Seperti saat pagi ini kau berkata padaku “Mama kok senengan kowe pas ndisik SMP si, Riel? Manutan. Saiki kowe ki ngeyelan.”. Aku hanya kembali tersenyum mendengarnya. Tidak berusaha memperdebatkannya. Mama, tidak ingatkah kau waktu aku lari dari rumah selama beberapa hari? Saat itu kau selalu beranggapan bahwa jika aku diam berarti aku menurut padamu. Tentu kau tidak ingin hal itu terulang lagi kan?
hhhmmmm...
Tapi terlepas dari itu semua, kau tetap mama yang oke.. Bahkan ketika kau luar biasa ngeyel..
Langganan:
Postingan (Atom)