Bayangkan bahwa aku adalah seorang penulis. Semua orang menanti tulisan yang kubuat. Ya! Itu yang kurasakan saat ini. Hanya beberapa orang yang menanti kejadian apa lagi yang akan mengiringi langkah mereka beberapa menit ke depan. Dengan teliti, dengan raut muka yang tak dapat kuselami lebih jauh, dengan pipi yang berkerut atau pun tersungging penuh keasaman, dengan pantat yang terpatri pada kursi busuk, atau dengan mata yang terus ingin bergerak menelusuri peta yang kubuat. Sejujurnya, ada peta yang tak dapat kubaca saat ini. Begitu indah, dengan segala tanah terjal yang mengelilinginya. Dengan segelintir uap air yang mengembun dengan baiknya, di sekujur batang tubuh daun yang bergerak menuju kepunahan. Menyegarkan.
Dan demikianlah aku. Menulis untuk membunuh segala kepanikan dan ketakutan yang menyergap otakku. Aku hanya bisa terdiam, dan terus menujukan mataku pada satu titik, dengan tatapan tanpa isi, dengan tangan yang terus mengeluarkan teriakan “aku kedinginan..”, dengan kaki yang tercekat pada pasungan rantai yang tak dapat kuurai dengan baik. Begitulah saat ini. Pukul 16.30, sendiri di dalam kotak kecil berukuran 4x5 meter.
Aku mencoba mengingat apakah yang terjadi dengan badan dan otakku selama beberapa waktu ke belakang. Aku sempat kalah! Kalah dalam berbagai kenyataan yang terus berhimpitan dengan keinginan besarku. Dan tak kuizinkan seorang pun mengetahuinya. Bahkan susu putih yang kuletakkan dengan rapi di batang tenggorokanku tak ingin melanjutkan perjalanannya di selusur perut atau usus besarku (jika memang saluran itu yang benar). Kurasa dia berusaha sepaham denganku, mencoba menemaniku dalam kepahitan.
Natal berlalu, dan kudapatkan sesuatu yang baru. Kudapatkan bahwa masih ada yang mencoba peduli pada keberadaanku. Saat itu, ya saat itu. Aku bergerak pada tanah liat yang padat, tanpa kasut, tanpa alas kaki yang pantas untuk berbenah. Aku mencoba menenangkan diriku,namun kurasa belum bisa. Bahkan ketika aku mencoba menutup mata untuk terus berlalu, awan hitam terus mencoba menyergapku dengan berbagai alasan untuk membungkam senyumku. Aku tak mengerti, sebegitunya Dia mengatubkan daun telingaku, menutup mataku, menekuk lututku, dan menangkupkan tanganku untuk berhadapan denganNya, hanya denganNya, tepat satu minggu sebelum Natal itu menyapaku. Aku menyerah dengan kepasrahan, karena aku sadar, bahwa hanya Dia, hanya Dia yang memilikiku. Tak dilepaskannya aku, tidak sedikit pun.
Baiklah, cukup baguskah rangkaian di atas jika kujadikan satu resensi naskah yang akan dibaca oleh beribu mata? (biasanya, tulisan ini ada di bagian belakang buku ). Kurasa belum. Karena aku belum merangkai berjuta kata untuk mengisi bagian dalamnya. Masih kosong, dan disediakan bagiku cukup banyak kertas putih untuk memulai sebuah alunan baru yang akan kurancang dengan baik. Jauh lebih baik dari waktu sebelumnya.
Kita lihat apa yang akan dikatakan orang-orang terkenal pada tulisanku..
Martinus : Nak, aku berjanji melindungimu, karena itu yang ditugaskan padaku semenjak namaku dijadikan ada pada dirimu. Hanya dengan status wanita yang kau sandang, maka nama itu berubah menjadi Martina. Kau begitu mengagumi apa yang ada di sampingmu. Aku menghargai bahwa kau masih bisa menangis padaNya, bahwa kau masih bisa mengatakan bahwa Natal adalah salah satu hal terindah yang pernah ada di dalam hidupmu. Tulislah di dalam kertas itu, bahwa kau hanya akan bersepakat denganNya.
Roh Kudus : Natal bukanlah satu paket yang mengharuskan setiap orang untuk berpakaian serba baru dan bernuansa hijau atau pun merah cerah. Pahamilah, bahwa apa yang harus terjadi akan terjadi dengan sendirinya. Hanya saja, waktu yang diberikan padamu tepat pada saat kau ingin tersenyum. Kau hebat! Kau masih bisa menulis, meski sungging di pucuk bibirmu mulai memudar.
Bunda Maria : Kau jarang berdoa padaku. Mungkin itu yang menyebabkan kau seperti ini, nak. Kau diberi Rosario dengan rantai yang begitu indah, namun tanganmu tak kuasa untuk memakainya. Kotorkah Rosariomu? Atau terlalu sayangkah kau mengeluarkannya dari kantung kecilmu? Harganya mahal, namun akan rusak sia-sia jika kau hanya meletakkannya pada kantung maroonmu.
Tuhan Yesus : When a Man love a woman, He will give everything to make her happy, that’s why I did it for you, girl. Even you had to cry first.. But anyway, I Love you with my own way..
Telingaku : tutuplah kedua cupingmu, maka aku akan bekerja sama dengan hatimu, dan akan kubantu kau mengerti bahwa angin itu masih berhembus untuk berbagi kesejukan denganmu.
Mataku : tutuplah pelipismu, satu, atau keduanya jauh lebih baik. Maka aku akan membawamu pada bayanganNya.
Tanganku : tangkupkan keduanya, hanya tangkupkan. Hanya itu yang kusarankan.
Mulutku : setelah semua dikerjakan, kini giliranku. Aku tak memintamu untuk mengucapakannya dengan lantang. Katakan saja “Maaf, Tuhan..”. Aku tak bisa menjamin air matamu akan mengalah setelah kau membuka matamu, namun kau akan merasakan bahwa semua tulisan yang kau buat akan menjadi satu bagian penting yang akan menjadi tawa di keesokan harimu.
Hatiku : Ariel, He’s here..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar