Pernah suatu hari aku mencoba mencari buku karangan Sapardi Djoko Damono. Begitu sulit aku mencarinya. Dan saat ini, aku mulai tegang! Dia tidak ada di barisan buku yang kupajang di kamarku! Ke mana dia? Judulnya Membunuh Orang Gila.
Siapa yang meminjamnya? Aku benar-benar lupa! Padahal ada banyak bagian yang
kusuka. Rangkaian katanya. Ya, dia bisa mengganti beberapa istilah dengan tulisan
yang lebih rapi, hingga pikiran kita tidak hanya terpancang pada satu arti yang
telah dipahami sebelumnya.
Demikian pula dengan Ratih Kumala. Belum banyak bukunya yang aku baca. Hanya
Genesis yang pernah aku habiskan. Itu pun karena bantuan penyakit yang tiba-tiba
datang. Karenanya, aku harus tergolek lemah dan tak bisa berbuat apa pun. Maka
kuputuskan untuk membaca beberapa buku yang belum pernah kuhabiskan sebelumnya.
Padanan kata yang dibuat di dalamnya menyiratkan sebuah alur sastra yang memukau.
Kita bisa merasa bahwa ada begitu banyak kata yang tidak pernah kita pakai dalam
kehidupan sehari-hari, dan bisa ditampilkan dengan apik untuk melukiskan kejadian
Ambon beberapa waktu yang lalu.
Maria Hartiningsih. Aku mengenal dia dari tulisan-tulisan “kaku” nya di
kolom Kompas. Aku menyukainya dalam artian, aku belum bisa menulis sebuah ritme
yang berkaitan dengan kehidupan dan kenyataan sosial. Ada dikatakan bahwa tiap
penulis harus berani keluar dari jalur penulisannya. Tidak hanya satu bahasan dan
pola yang sama tiap kali tangannya menulis. Itu yang belum kulakukan saat ini. Aku
bisa dengan mudah menggambarkan apa yang ada di otakku ke dalam sebuah rangkaian,
namun untuk menggabungkan dengan generalisasi pemikiran alamiku, aku belum sampai
pada tahap itu.
Martina Ariel. Aku belum pernah melihat tulisannya pernah diterbitkan. Mungkin ada ketakutan tersendiri di dalam dirinya. Tentang apa yang dipikirkannya mungkin tidak sebaik penulis lain. Tentang apa yang dilakukannya mungkin tidak sebaik yang diharapkan orang di sekelilingnya. Dia terlalu banyak berkutat pada hal yang sama, tidak berani membuat sebuah perubahan signifikan pada model penulisannya. Aku ingin melihat dia berani mengangkat apa yang menjadi keraguan di dalam dirinya. Dia pernah menulis mengenai tradisi kepulauan, dan dia tidak ingin menyelesaikannya. Dia pernah menulis tentang kepenatan kehidupan marjin, namun tak dianggap dengan respon yang baik. Dia pernah menulis tentang berbagai kenyataan yang melanda hidupnya, dan dia tidak berani mengatakannya secara langsung. Itu kesalahan terbesarnya, dia hanya berani di atas kertas!!
Jumat, 21 Januari 2011
Tampaknya Ada yang Berontak??
Aku paham benar kalian juga lapar..
Tunggu ya.. mamaku sedang menghantar makanan untuk kita.. Dia bilang sebentar lagi ada uang kiriman..
Tapi kamu harus janji, jangan habiskan semuanya kalau aku sudah makan. Sisakan untuk pertumbuhan massa tubuhku!!
Awas ya!!
Rabu, 12 Januari 2011
Jujur, aku bingung.. dan aku butuh bantuan..
baiklah, aku suka bingung sama blog ini..
kenapa semua tulisanku jadi ga karu-karuan si formatnya?
padahal sudah kubentuk sedemikian rupa, tapi begitu di poting, semua beruubaah jadi jelek dan tidak menarik..
tulisan pada dempet, tulisannya juga gitu-gitu aja, ga bisa dimacem macemin.
yah, mungkin bisa. tapi aku kan gaptek abiit..
bantuin donk..
kenapa semua tulisanku jadi ga karu-karuan si formatnya?
padahal sudah kubentuk sedemikian rupa, tapi begitu di poting, semua beruubaah jadi jelek dan tidak menarik..
tulisan pada dempet, tulisannya juga gitu-gitu aja, ga bisa dimacem macemin.
yah, mungkin bisa. tapi aku kan gaptek abiit..
bantuin donk..
Jangan Mau Kalah Pada Uang..
Mengapa dan mengapa uang tiga ratus ribu itu bisa untuk satu bulan penghidupan?
Ada yang bisa memberikan rician?
Bisa, bisa, bisa.. bagi yang belum bisa berhemat (termasuk saya sendiri), ini adalah satu bahasan yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
Baiklah, awalnya.. Siapa yang mau hidup sangat hemat dengan uang sebegini rendahnya? Dengan berbagai alasan, pemikiran ahli ekonomi yang berpendapat bahwa penghasilan akan berbanding terbalik dengan permintaan adalah salah besar!!! Makin besar uang yang kita miliki, maka akan semakin banyak kebutuhan yang harus (?) kita penuhi. Ya, apalagi lingkungan semakin membuat kita tidak bisa berhenti menjajakan apa yang ada di dalam dompet.
Selanjutnya, jika dihitung-hitung, jujur ya, maka dalam satu bulan, saya .... mmm... akan menghabiskan kira-kira sepuluh juta. Makan mewah setiap saat, jajan ala kadarnya (baca : jus, Parsley, Takoyaki, Lays, Chitato, J-co, Breadtalk), sepatu keds Converse limited edition, jins biru tua yang selalu digantung Nautica dengan harga tak kurang dari 15% harga aslinya, turtle neck tanpa lengan berwarna turqoise yang akan pas dan oke punya ketika dipakai di sungai, biaya pemeliharaan gadgetku yang semakin banyak, biaya perawatan Holden yang harus saya parkir di luaran (kasihan, dia kehujanan tiap hari), oh iya.. untuk Max, Rotwailer hitam yang selalu menyapa ketika saya pulang. Dia butuh makan dan perawatan tiap bulannya.
Waaahhh... masak saya hanya diberi Sepiluh juta?? God!! Mana cukuuup???
Come on, Mom..anakmu ini hidup dalam perantauan. Kau tahu bahwa perut kecilku ini tak bisa diajak berkompromi setiap harinya. Kau tahu pasti bahwa kulitku semakin menghitam di sini. Dan maka dari itu, dokter kulit harus selalu siap setiap saat. Kau juga tahu bahwa aku tak tahan dengan udara panas. Oleh karena itu, kamarku harus segera dipasangi AC.
Hahahahahahahahahahahahahahahahaha... betapa indahnya jika hidup di atas benar-benar terjadi! Mungkin, sekarang Max ada di sebelahku, memandangiku dan bergeliat manja di perutku. Yah, baiklah. Aku belum bisa mencukupi keinginan di atas, itu mengapa segala hal yang kutulis di atas kuberi nama sebagai “mimpi”. Kecuali bagian takoyaki. Aku sebenarnya tidak tahu makanan apa itu. Kata salah satu temanku, takoyaki mirip mpek mpek. Dan itu berarti sama dengan ikan. Tidak! Harusnya tadi aku menulis french fries MCd.
Ini adalah bagian yang benar dariku : jins belel ala kadarnya, baju awul-awul, beberapa pasang sepatu yang kubeli dengan pemikiran bahwa “kau harus pas dipasangkan dengan pakaian apa pun”, gadget cina dengan merek HT, laptop, tas yang mayoritas berwarna hitam, kipas angin Maspion peninggalan oma, dan sampai saat ini, aku masih berbangga diri dengan cita rasa masakan yang kubuat setiap harinya. Sisanya, tak ada.. aku berani meninggalkan kamar kos tanpa dikunci. Karena aku yakin tak ada yang bisa diambil dari dalamnya.
[intermezo : jangan menulis seperti ini. Gunakan satu kata pengganti. Jangan digabung antara “saya” dan “aku” pada satu bagian yang menceritakan pola hidupmu].. hehehe.. but, I did it..dari pada harus mengganti lagi.
Baiklah, kembali lagi pada topik awal.
Mengapa saya bisa hidup dengan jumlah sekian itu?
Itu pertanyaan mudah yang bisa kuceritakan di sini :
1. Bagian termahal dalam hidupku adalah rokok, bukan makanan. Sudah kusampaikan di atas bahwa aku adalah seorang gadis yang dibiasakan memasak sejak kelas tiga sekolah dasar. Maka wajar, bila tanganku cukup terlatih untuk membuat kreasi makanan. Dan, aku membuka bisnis catering. Belum bisa dikatakan seperti itu sebenarnya. Tapi, ada satu temanku yang memesan makanan padaku tiap harinya. Dan dia memberikan uang belanja tiap bulan. Jadi, bisa ditebak. Aku tidak akan repot membuang uang untuk makan di luaran. Karena hampir semua masakan di luar tidak sesuai dengan harga yang ditawarkan – kecuali untuk beberapa tempat langgananku- dan kedua, aku bisa menghemat, bukan? Karena aku selalu mengambil jatah tenagaku dari makanan dia (ambil nasi secukupnya, comot-comot dikit dari wajan, yang penting bisa untuk makan seharian). Dan perlu diingat, aku adalah wanita dengan keinginan makan yang tidak bisa dibendung. Jadi terlalu berbahaya jika aku harus membeli segala keinginan perutku.
2. Untuk rokok, kubuat perhitungan seperti ini. Sampai tanggal 12, aku membeli satu bungkus rokok, setelah itu, rokok harus dikurangi dengan mendatangi burjo dekat kosan yang menjual L.A merah ngecer. Setiap keluar, jangan membawa semua rokok, karena pasti ada tangan-tangan jail yang meminta rokok. Cukup bawa beberapa saja. Itu juga salah satu bagian menghemat. Kecualikan jika kau adalah pekerja lapangan, yang malas kembali ke kos, maka bawalah semua rokokmu.
3. Untuk foto kopi dan berbagai keperluan kuliah, aku tidak pernah membuat budget khusus. Karena tidak terlalu penting bagiku. Aku lebih suka Conan dari pada buku kuliah tebal yang harus kubeli. Masih ada perpustakaan dan teman-teman baik yang mau meminjamkan bukunya.
4. Untuk persembahan di gereja tiap minggunya, itu tidak bisa ditawar. Karena aku harus menyisihkan 10% untuk Dia. Dan untuk yang satu ini, kubuat budget lebih.
5. Untuk urusan lapar mata, itu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Kadang, aku hanya berpikir mama di rumah. Itu alasan terkuat bagiku untuk meletakkan kembali barang yang kuinginkan. Dan kupikir, semua barang yang kumiliki tidak terlalu buruk kualitasnya. Dan telalu baik bahkan. Tas Eiger yang dibelikan Mama, belum rusak sejak 5 tahun lalu. Dan itu alasan mengapa aku tidak bisa meminta lagi. Mama yang pintar.
6. Jika ada keperluan sangat mendadak, misalnya rumah sakit dan obat-obatan, itu urusan PaMa. Aku selalu berharap kalau uang berobat ada sisanya. Hahahaha, bisa buat jajan nantinya.
7. Nah, untuk keperluan sungai. Itu bisa diakali. Kalau belum punya uang, satu-satunya cara pinjam dulu. Dua-duanya, minta ke Mama dengan alasan “bayar listrik, bayar utang ke temen, atau beli buku”.
8. Sisanya, untuk transportasi ke kampus. Aku punya sepeda. Tapi, matahari Yogya tidak terlalu baik untuk kulitku yang sudah hitam. Maka, jika aku harus ke kampus lebih dari pukul 09.00, aku harus naik bis. Pulangnya bisa nebeng atau jalan kaki.
9. Sisanya lagi yang tinggal sedikit, atau biasanya disebut receh, kumasukkan ke perut Frengki, ayam kuning di atas buku-buku berdebuku.
10. Dan.. semuanya bisa terjadi. Aku masih bisa bersenang-senang dengan tiga ratus ribu yang kumiliki..Jangan kalah licik dengan hidup. Kita punya otak untuk diajak bekerja sama, bukan?
Ada yang bisa memberikan rician?
Bisa, bisa, bisa.. bagi yang belum bisa berhemat (termasuk saya sendiri), ini adalah satu bahasan yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
Baiklah, awalnya.. Siapa yang mau hidup sangat hemat dengan uang sebegini rendahnya? Dengan berbagai alasan, pemikiran ahli ekonomi yang berpendapat bahwa penghasilan akan berbanding terbalik dengan permintaan adalah salah besar!!! Makin besar uang yang kita miliki, maka akan semakin banyak kebutuhan yang harus (?) kita penuhi. Ya, apalagi lingkungan semakin membuat kita tidak bisa berhenti menjajakan apa yang ada di dalam dompet.
Selanjutnya, jika dihitung-hitung, jujur ya, maka dalam satu bulan, saya .... mmm... akan menghabiskan kira-kira sepuluh juta. Makan mewah setiap saat, jajan ala kadarnya (baca : jus, Parsley, Takoyaki, Lays, Chitato, J-co, Breadtalk), sepatu keds Converse limited edition, jins biru tua yang selalu digantung Nautica dengan harga tak kurang dari 15% harga aslinya, turtle neck tanpa lengan berwarna turqoise yang akan pas dan oke punya ketika dipakai di sungai, biaya pemeliharaan gadgetku yang semakin banyak, biaya perawatan Holden yang harus saya parkir di luaran (kasihan, dia kehujanan tiap hari), oh iya.. untuk Max, Rotwailer hitam yang selalu menyapa ketika saya pulang. Dia butuh makan dan perawatan tiap bulannya.
Waaahhh... masak saya hanya diberi Sepiluh juta?? God!! Mana cukuuup???
Come on, Mom..anakmu ini hidup dalam perantauan. Kau tahu bahwa perut kecilku ini tak bisa diajak berkompromi setiap harinya. Kau tahu pasti bahwa kulitku semakin menghitam di sini. Dan maka dari itu, dokter kulit harus selalu siap setiap saat. Kau juga tahu bahwa aku tak tahan dengan udara panas. Oleh karena itu, kamarku harus segera dipasangi AC.
Hahahahahahahahahahahahahahahahaha... betapa indahnya jika hidup di atas benar-benar terjadi! Mungkin, sekarang Max ada di sebelahku, memandangiku dan bergeliat manja di perutku. Yah, baiklah. Aku belum bisa mencukupi keinginan di atas, itu mengapa segala hal yang kutulis di atas kuberi nama sebagai “mimpi”. Kecuali bagian takoyaki. Aku sebenarnya tidak tahu makanan apa itu. Kata salah satu temanku, takoyaki mirip mpek mpek. Dan itu berarti sama dengan ikan. Tidak! Harusnya tadi aku menulis french fries MCd.
Ini adalah bagian yang benar dariku : jins belel ala kadarnya, baju awul-awul, beberapa pasang sepatu yang kubeli dengan pemikiran bahwa “kau harus pas dipasangkan dengan pakaian apa pun”, gadget cina dengan merek HT, laptop, tas yang mayoritas berwarna hitam, kipas angin Maspion peninggalan oma, dan sampai saat ini, aku masih berbangga diri dengan cita rasa masakan yang kubuat setiap harinya. Sisanya, tak ada.. aku berani meninggalkan kamar kos tanpa dikunci. Karena aku yakin tak ada yang bisa diambil dari dalamnya.
[intermezo : jangan menulis seperti ini. Gunakan satu kata pengganti. Jangan digabung antara “saya” dan “aku” pada satu bagian yang menceritakan pola hidupmu].. hehehe.. but, I did it..dari pada harus mengganti lagi.
Baiklah, kembali lagi pada topik awal.
Mengapa saya bisa hidup dengan jumlah sekian itu?
Itu pertanyaan mudah yang bisa kuceritakan di sini :
1. Bagian termahal dalam hidupku adalah rokok, bukan makanan. Sudah kusampaikan di atas bahwa aku adalah seorang gadis yang dibiasakan memasak sejak kelas tiga sekolah dasar. Maka wajar, bila tanganku cukup terlatih untuk membuat kreasi makanan. Dan, aku membuka bisnis catering. Belum bisa dikatakan seperti itu sebenarnya. Tapi, ada satu temanku yang memesan makanan padaku tiap harinya. Dan dia memberikan uang belanja tiap bulan. Jadi, bisa ditebak. Aku tidak akan repot membuang uang untuk makan di luaran. Karena hampir semua masakan di luar tidak sesuai dengan harga yang ditawarkan – kecuali untuk beberapa tempat langgananku- dan kedua, aku bisa menghemat, bukan? Karena aku selalu mengambil jatah tenagaku dari makanan dia (ambil nasi secukupnya, comot-comot dikit dari wajan, yang penting bisa untuk makan seharian). Dan perlu diingat, aku adalah wanita dengan keinginan makan yang tidak bisa dibendung. Jadi terlalu berbahaya jika aku harus membeli segala keinginan perutku.
2. Untuk rokok, kubuat perhitungan seperti ini. Sampai tanggal 12, aku membeli satu bungkus rokok, setelah itu, rokok harus dikurangi dengan mendatangi burjo dekat kosan yang menjual L.A merah ngecer. Setiap keluar, jangan membawa semua rokok, karena pasti ada tangan-tangan jail yang meminta rokok. Cukup bawa beberapa saja. Itu juga salah satu bagian menghemat. Kecualikan jika kau adalah pekerja lapangan, yang malas kembali ke kos, maka bawalah semua rokokmu.
3. Untuk foto kopi dan berbagai keperluan kuliah, aku tidak pernah membuat budget khusus. Karena tidak terlalu penting bagiku. Aku lebih suka Conan dari pada buku kuliah tebal yang harus kubeli. Masih ada perpustakaan dan teman-teman baik yang mau meminjamkan bukunya.
4. Untuk persembahan di gereja tiap minggunya, itu tidak bisa ditawar. Karena aku harus menyisihkan 10% untuk Dia. Dan untuk yang satu ini, kubuat budget lebih.
5. Untuk urusan lapar mata, itu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Kadang, aku hanya berpikir mama di rumah. Itu alasan terkuat bagiku untuk meletakkan kembali barang yang kuinginkan. Dan kupikir, semua barang yang kumiliki tidak terlalu buruk kualitasnya. Dan telalu baik bahkan. Tas Eiger yang dibelikan Mama, belum rusak sejak 5 tahun lalu. Dan itu alasan mengapa aku tidak bisa meminta lagi. Mama yang pintar.
6. Jika ada keperluan sangat mendadak, misalnya rumah sakit dan obat-obatan, itu urusan PaMa. Aku selalu berharap kalau uang berobat ada sisanya. Hahahaha, bisa buat jajan nantinya.
7. Nah, untuk keperluan sungai. Itu bisa diakali. Kalau belum punya uang, satu-satunya cara pinjam dulu. Dua-duanya, minta ke Mama dengan alasan “bayar listrik, bayar utang ke temen, atau beli buku”.
8. Sisanya, untuk transportasi ke kampus. Aku punya sepeda. Tapi, matahari Yogya tidak terlalu baik untuk kulitku yang sudah hitam. Maka, jika aku harus ke kampus lebih dari pukul 09.00, aku harus naik bis. Pulangnya bisa nebeng atau jalan kaki.
9. Sisanya lagi yang tinggal sedikit, atau biasanya disebut receh, kumasukkan ke perut Frengki, ayam kuning di atas buku-buku berdebuku.
10. Dan.. semuanya bisa terjadi. Aku masih bisa bersenang-senang dengan tiga ratus ribu yang kumiliki..Jangan kalah licik dengan hidup. Kita punya otak untuk diajak bekerja sama, bukan?
Sabtu, 08 Januari 2011
Hanya Angan Angan Kotor..
Baiklah!! Baik!! Aku kalah!!
Aku mengalah, aku menyerah, dan aku akan mengatakan lebih dulu. Aku kangen..
Dua kata yang tak pernah ingin kita ucapkan lebih dulu kan, sayang?
JAIM kalo orang bilang..
Tapi tidak kali ini. Cukup lama aku menunggu untuk membuatmu mengatakan bahwa kau juga merasakan hal yang sama. Tapi kurasa itu satu hal yang bodoh. Maka kuputuskan, kau akan terkejut melihatku berkata hal “tabu” ini di depan banyak mata. Dan konsekuensinya, mereka akan menertawakanku, mengatakan begini mungkin “Ariel.. ciieee...”. Oke, itu bukan hal yang memalukan sepertinya. Dan konsekuensi untukmu, kau akan pulang cepat bukan? Mungkin kau akan lebih malu jika aku berkata demikian di depan banyak mata. Aku pintar, bukan?
Kita tahu, apa yang kutulis pada alinea di atas adalah angan, yang mungkin segera terwujud.
Hahahahahahahahahahahahahha...
Itu tertawa getir, sayang. Bukan tawa bahagia karena aku bisa berlagak seperti gadis yang tak memiliki kekasih. Apa kau tak takut ketika aku yang sungguh manis ini direbut laki-laki ganteng sedunia? Apa kau tak segan ketika kulit hitamku ini menarik mata para lelaki muda?
Kurasa sekali lagi, itu hanya angan.
Eh, mungkin bukan angan. Bagian hitam dan manis itu harus kujadikan hakku (pikiranku sendiri lebih tepatnya). Dan laki-laki yang mengejarku akan kujadikan paksaan untuk membuatmu segera berbalik padaku. Kau yakin akan melepasku sendirian di sini? Ini ancaman! Aku mengancammu!!
Baik, kuberi kau waktu lagi. Dalam hitungan empat puluh malam! Jika kau tak kembali, aku..aku..mmmmm.. aku..mmmm... aku akan tetap menunggumu. Oke, mungkin lebih lama lagi. Enam puluh malam. Ya! Jika dalam waktu itu kau tak juga menampakkan wajahmu, kurasa... aku akan menjadi gadis tersabar di dunia. Dan tetap sama, aku masih akan dengan setia menanti kau merengkuh tanganku, menggandengnya, dan dengan kata maaf kau akan menciumku..Lakukan itu! Maka aku akan memaafkanmu! Jika tidak kau lakukan. Lihat apa yang akan kulakukan!
Kau : “ Apa? Kamu mau ngapain?
Aku : “Menciummu sepuasnya..”
Kau : “ hhhmmmmm...”
Aku : “hahahahahaha...” (kali ini aku akan tertawa bahagia)
AKU KANGEN KAMU, GNAY...
Aku mengalah, aku menyerah, dan aku akan mengatakan lebih dulu. Aku kangen..
Dua kata yang tak pernah ingin kita ucapkan lebih dulu kan, sayang?
JAIM kalo orang bilang..
Tapi tidak kali ini. Cukup lama aku menunggu untuk membuatmu mengatakan bahwa kau juga merasakan hal yang sama. Tapi kurasa itu satu hal yang bodoh. Maka kuputuskan, kau akan terkejut melihatku berkata hal “tabu” ini di depan banyak mata. Dan konsekuensinya, mereka akan menertawakanku, mengatakan begini mungkin “Ariel.. ciieee...”. Oke, itu bukan hal yang memalukan sepertinya. Dan konsekuensi untukmu, kau akan pulang cepat bukan? Mungkin kau akan lebih malu jika aku berkata demikian di depan banyak mata. Aku pintar, bukan?
Kita tahu, apa yang kutulis pada alinea di atas adalah angan, yang mungkin segera terwujud.
Hahahahahahahahahahahahahha...
Itu tertawa getir, sayang. Bukan tawa bahagia karena aku bisa berlagak seperti gadis yang tak memiliki kekasih. Apa kau tak takut ketika aku yang sungguh manis ini direbut laki-laki ganteng sedunia? Apa kau tak segan ketika kulit hitamku ini menarik mata para lelaki muda?
Kurasa sekali lagi, itu hanya angan.
Eh, mungkin bukan angan. Bagian hitam dan manis itu harus kujadikan hakku (pikiranku sendiri lebih tepatnya). Dan laki-laki yang mengejarku akan kujadikan paksaan untuk membuatmu segera berbalik padaku. Kau yakin akan melepasku sendirian di sini? Ini ancaman! Aku mengancammu!!
Baik, kuberi kau waktu lagi. Dalam hitungan empat puluh malam! Jika kau tak kembali, aku..aku..mmmmm.. aku..mmmm... aku akan tetap menunggumu. Oke, mungkin lebih lama lagi. Enam puluh malam. Ya! Jika dalam waktu itu kau tak juga menampakkan wajahmu, kurasa... aku akan menjadi gadis tersabar di dunia. Dan tetap sama, aku masih akan dengan setia menanti kau merengkuh tanganku, menggandengnya, dan dengan kata maaf kau akan menciumku..Lakukan itu! Maka aku akan memaafkanmu! Jika tidak kau lakukan. Lihat apa yang akan kulakukan!
Kau : “ Apa? Kamu mau ngapain?
Aku : “Menciummu sepuasnya..”
Kau : “ hhhmmmmm...”
Aku : “hahahahahaha...” (kali ini aku akan tertawa bahagia)
AKU KANGEN KAMU, GNAY...
Kado Natal Terbaru
Bayangkan bahwa aku adalah seorang penulis. Semua orang menanti tulisan yang kubuat. Ya! Itu yang kurasakan saat ini. Hanya beberapa orang yang menanti kejadian apa lagi yang akan mengiringi langkah mereka beberapa menit ke depan. Dengan teliti, dengan raut muka yang tak dapat kuselami lebih jauh, dengan pipi yang berkerut atau pun tersungging penuh keasaman, dengan pantat yang terpatri pada kursi busuk, atau dengan mata yang terus ingin bergerak menelusuri peta yang kubuat. Sejujurnya, ada peta yang tak dapat kubaca saat ini. Begitu indah, dengan segala tanah terjal yang mengelilinginya. Dengan segelintir uap air yang mengembun dengan baiknya, di sekujur batang tubuh daun yang bergerak menuju kepunahan. Menyegarkan.
Dan demikianlah aku. Menulis untuk membunuh segala kepanikan dan ketakutan yang menyergap otakku. Aku hanya bisa terdiam, dan terus menujukan mataku pada satu titik, dengan tatapan tanpa isi, dengan tangan yang terus mengeluarkan teriakan “aku kedinginan..”, dengan kaki yang tercekat pada pasungan rantai yang tak dapat kuurai dengan baik. Begitulah saat ini. Pukul 16.30, sendiri di dalam kotak kecil berukuran 4x5 meter.
Aku mencoba mengingat apakah yang terjadi dengan badan dan otakku selama beberapa waktu ke belakang. Aku sempat kalah! Kalah dalam berbagai kenyataan yang terus berhimpitan dengan keinginan besarku. Dan tak kuizinkan seorang pun mengetahuinya. Bahkan susu putih yang kuletakkan dengan rapi di batang tenggorokanku tak ingin melanjutkan perjalanannya di selusur perut atau usus besarku (jika memang saluran itu yang benar). Kurasa dia berusaha sepaham denganku, mencoba menemaniku dalam kepahitan.
Natal berlalu, dan kudapatkan sesuatu yang baru. Kudapatkan bahwa masih ada yang mencoba peduli pada keberadaanku. Saat itu, ya saat itu. Aku bergerak pada tanah liat yang padat, tanpa kasut, tanpa alas kaki yang pantas untuk berbenah. Aku mencoba menenangkan diriku,namun kurasa belum bisa. Bahkan ketika aku mencoba menutup mata untuk terus berlalu, awan hitam terus mencoba menyergapku dengan berbagai alasan untuk membungkam senyumku. Aku tak mengerti, sebegitunya Dia mengatubkan daun telingaku, menutup mataku, menekuk lututku, dan menangkupkan tanganku untuk berhadapan denganNya, hanya denganNya, tepat satu minggu sebelum Natal itu menyapaku. Aku menyerah dengan kepasrahan, karena aku sadar, bahwa hanya Dia, hanya Dia yang memilikiku. Tak dilepaskannya aku, tidak sedikit pun.
Baiklah, cukup baguskah rangkaian di atas jika kujadikan satu resensi naskah yang akan dibaca oleh beribu mata? (biasanya, tulisan ini ada di bagian belakang buku ). Kurasa belum. Karena aku belum merangkai berjuta kata untuk mengisi bagian dalamnya. Masih kosong, dan disediakan bagiku cukup banyak kertas putih untuk memulai sebuah alunan baru yang akan kurancang dengan baik. Jauh lebih baik dari waktu sebelumnya.
Kita lihat apa yang akan dikatakan orang-orang terkenal pada tulisanku..
Martinus : Nak, aku berjanji melindungimu, karena itu yang ditugaskan padaku semenjak namaku dijadikan ada pada dirimu. Hanya dengan status wanita yang kau sandang, maka nama itu berubah menjadi Martina. Kau begitu mengagumi apa yang ada di sampingmu. Aku menghargai bahwa kau masih bisa menangis padaNya, bahwa kau masih bisa mengatakan bahwa Natal adalah salah satu hal terindah yang pernah ada di dalam hidupmu. Tulislah di dalam kertas itu, bahwa kau hanya akan bersepakat denganNya.
Roh Kudus : Natal bukanlah satu paket yang mengharuskan setiap orang untuk berpakaian serba baru dan bernuansa hijau atau pun merah cerah. Pahamilah, bahwa apa yang harus terjadi akan terjadi dengan sendirinya. Hanya saja, waktu yang diberikan padamu tepat pada saat kau ingin tersenyum. Kau hebat! Kau masih bisa menulis, meski sungging di pucuk bibirmu mulai memudar.
Bunda Maria : Kau jarang berdoa padaku. Mungkin itu yang menyebabkan kau seperti ini, nak. Kau diberi Rosario dengan rantai yang begitu indah, namun tanganmu tak kuasa untuk memakainya. Kotorkah Rosariomu? Atau terlalu sayangkah kau mengeluarkannya dari kantung kecilmu? Harganya mahal, namun akan rusak sia-sia jika kau hanya meletakkannya pada kantung maroonmu.
Tuhan Yesus : When a Man love a woman, He will give everything to make her happy, that’s why I did it for you, girl. Even you had to cry first.. But anyway, I Love you with my own way..
Telingaku : tutuplah kedua cupingmu, maka aku akan bekerja sama dengan hatimu, dan akan kubantu kau mengerti bahwa angin itu masih berhembus untuk berbagi kesejukan denganmu.
Mataku : tutuplah pelipismu, satu, atau keduanya jauh lebih baik. Maka aku akan membawamu pada bayanganNya.
Tanganku : tangkupkan keduanya, hanya tangkupkan. Hanya itu yang kusarankan.
Mulutku : setelah semua dikerjakan, kini giliranku. Aku tak memintamu untuk mengucapakannya dengan lantang. Katakan saja “Maaf, Tuhan..”. Aku tak bisa menjamin air matamu akan mengalah setelah kau membuka matamu, namun kau akan merasakan bahwa semua tulisan yang kau buat akan menjadi satu bagian penting yang akan menjadi tawa di keesokan harimu.
Hatiku : Ariel, He’s here..
Dan demikianlah aku. Menulis untuk membunuh segala kepanikan dan ketakutan yang menyergap otakku. Aku hanya bisa terdiam, dan terus menujukan mataku pada satu titik, dengan tatapan tanpa isi, dengan tangan yang terus mengeluarkan teriakan “aku kedinginan..”, dengan kaki yang tercekat pada pasungan rantai yang tak dapat kuurai dengan baik. Begitulah saat ini. Pukul 16.30, sendiri di dalam kotak kecil berukuran 4x5 meter.
Aku mencoba mengingat apakah yang terjadi dengan badan dan otakku selama beberapa waktu ke belakang. Aku sempat kalah! Kalah dalam berbagai kenyataan yang terus berhimpitan dengan keinginan besarku. Dan tak kuizinkan seorang pun mengetahuinya. Bahkan susu putih yang kuletakkan dengan rapi di batang tenggorokanku tak ingin melanjutkan perjalanannya di selusur perut atau usus besarku (jika memang saluran itu yang benar). Kurasa dia berusaha sepaham denganku, mencoba menemaniku dalam kepahitan.
Natal berlalu, dan kudapatkan sesuatu yang baru. Kudapatkan bahwa masih ada yang mencoba peduli pada keberadaanku. Saat itu, ya saat itu. Aku bergerak pada tanah liat yang padat, tanpa kasut, tanpa alas kaki yang pantas untuk berbenah. Aku mencoba menenangkan diriku,namun kurasa belum bisa. Bahkan ketika aku mencoba menutup mata untuk terus berlalu, awan hitam terus mencoba menyergapku dengan berbagai alasan untuk membungkam senyumku. Aku tak mengerti, sebegitunya Dia mengatubkan daun telingaku, menutup mataku, menekuk lututku, dan menangkupkan tanganku untuk berhadapan denganNya, hanya denganNya, tepat satu minggu sebelum Natal itu menyapaku. Aku menyerah dengan kepasrahan, karena aku sadar, bahwa hanya Dia, hanya Dia yang memilikiku. Tak dilepaskannya aku, tidak sedikit pun.
Baiklah, cukup baguskah rangkaian di atas jika kujadikan satu resensi naskah yang akan dibaca oleh beribu mata? (biasanya, tulisan ini ada di bagian belakang buku ). Kurasa belum. Karena aku belum merangkai berjuta kata untuk mengisi bagian dalamnya. Masih kosong, dan disediakan bagiku cukup banyak kertas putih untuk memulai sebuah alunan baru yang akan kurancang dengan baik. Jauh lebih baik dari waktu sebelumnya.
Kita lihat apa yang akan dikatakan orang-orang terkenal pada tulisanku..
Martinus : Nak, aku berjanji melindungimu, karena itu yang ditugaskan padaku semenjak namaku dijadikan ada pada dirimu. Hanya dengan status wanita yang kau sandang, maka nama itu berubah menjadi Martina. Kau begitu mengagumi apa yang ada di sampingmu. Aku menghargai bahwa kau masih bisa menangis padaNya, bahwa kau masih bisa mengatakan bahwa Natal adalah salah satu hal terindah yang pernah ada di dalam hidupmu. Tulislah di dalam kertas itu, bahwa kau hanya akan bersepakat denganNya.
Roh Kudus : Natal bukanlah satu paket yang mengharuskan setiap orang untuk berpakaian serba baru dan bernuansa hijau atau pun merah cerah. Pahamilah, bahwa apa yang harus terjadi akan terjadi dengan sendirinya. Hanya saja, waktu yang diberikan padamu tepat pada saat kau ingin tersenyum. Kau hebat! Kau masih bisa menulis, meski sungging di pucuk bibirmu mulai memudar.
Bunda Maria : Kau jarang berdoa padaku. Mungkin itu yang menyebabkan kau seperti ini, nak. Kau diberi Rosario dengan rantai yang begitu indah, namun tanganmu tak kuasa untuk memakainya. Kotorkah Rosariomu? Atau terlalu sayangkah kau mengeluarkannya dari kantung kecilmu? Harganya mahal, namun akan rusak sia-sia jika kau hanya meletakkannya pada kantung maroonmu.
Tuhan Yesus : When a Man love a woman, He will give everything to make her happy, that’s why I did it for you, girl. Even you had to cry first.. But anyway, I Love you with my own way..
Telingaku : tutuplah kedua cupingmu, maka aku akan bekerja sama dengan hatimu, dan akan kubantu kau mengerti bahwa angin itu masih berhembus untuk berbagi kesejukan denganmu.
Mataku : tutuplah pelipismu, satu, atau keduanya jauh lebih baik. Maka aku akan membawamu pada bayanganNya.
Tanganku : tangkupkan keduanya, hanya tangkupkan. Hanya itu yang kusarankan.
Mulutku : setelah semua dikerjakan, kini giliranku. Aku tak memintamu untuk mengucapakannya dengan lantang. Katakan saja “Maaf, Tuhan..”. Aku tak bisa menjamin air matamu akan mengalah setelah kau membuka matamu, namun kau akan merasakan bahwa semua tulisan yang kau buat akan menjadi satu bagian penting yang akan menjadi tawa di keesokan harimu.
Hatiku : Ariel, He’s here..
Aku Mengantuk Menunggu Sebuah JAWABAN
Kurasa yang kubutuhkan saat ini hanyalah sedikit titik kesabaran. Tidak ada satu pun yang peduli ketika aku hanya bisa tersembab dan terdiam melihat bumi berputar dan mencoba menarikku untuk bergabung bersamanya di lantai tanah basah. Nafasku tersendat dan terpaku pada gantungan satu-satu hitungan jari. Mataku hanya berkedip memandang langkah kakiku yang semakin gontai. Tak ada sedikit pun fungsi nama itu terpapar dalam hidupku saat ini. Katanya, namaku itu berarti singa, penguasa hutan, dan tak ada satu pun yang bisa menghentikannya. BOHONG! Jika nafasku terhenti oleh kejamnya zaman, tentu aumanku tak akan menggetarkan bulu rusa yang kuburu.
Bukan berarti aku menyalahkan keadaan. Namun yang kurasakan saat ini tak lebih hanyalah suasana berkabung tanpa arti yang bermakna. Tak ada satu pun hari yang bisa kuambil sebagai pelajaran. Bukan kebersihan yang kupelajari, bukan tangis pagi yang kunanti setiap tanganku bergerak membuka cakrawala, bukan lantai bersih yang kuinjak tanpa tangis yang membuatnya berkilap, bukan juga pakaian kotor yang kupindai sebagai pemindah tenaga. Hari demi hari, tanganku semakin tak mencukupi untuk menghitung, menggenapi sejumlah waktu yang kutepati sebagai janji untuk menjadi temanku di tempat ini.
Sejenak aku hanya berkeinginan untuk menyapa buku-buku kumal yang tak berharga bagi orang lain, sekejap aku hanya ingin melangkahkan kaki menghisap aroma lain dunia, sedetik saja aku ingin meluangkan waktu melihat pagelaran kecil tentang kehidupan bersama tetua yang mungkin telah menunggu kehadiranku di gedung itu. Namun kurasa, ada orang lain yang sedang meminjam waktu yang kutunggu itu. Dia mencoba meraup goyangan sang fajar, hingga begitu lamanya ia tenggelam.
Rintihanku tak saja membuatku semakin mengecil dan tenggelam dalam buliran pasir waktu, kurasakan dia semakin mengeras, mendekapku semakin kuat dalam sebuah tempat yang tak ingin kukenal. Tempat ini sama saja panasnya, tak bergairah, dan sama sekali tak pernah membuaiku memberikan arahan yang kuperlukan. Sesekali dia hanya berkata ”rasakan kau! Itulah yang kau dapatkan dari sebuah kata yang tak kau pikirkan.”
Apa yang tak kupikirkan sebelumnya? Sesungguhnya aku merasakan sebuah pinangan kehidupan, ada yang menggelitik telingaku, dia menjerit ”KAU DITIPU!”
Mendadak aku hanya bisa diam, berdiri mematung, melirik ke arah kiri dan kanan, bergeliat ketakutan, merintih pada dinding yang tak pernah kulihat sekali pun tersenyum memberiku semangat. Darahku kadang memanas jika melihat awakku menjadi kurus dan tak berisi. Tak pernah mataku diberinya waktu untuk berhenti mengeluarkan air. Tak pernah kasiaanya ia padaku.
Jika kukatubkan mataku, aku melihat si kecil bernyanyi dan terus memanggilku. Dia tertawa dan mencoba merengkuhku pada kehidupan lampau. Dia yang tak pernah merasa gentar dengan apa yang ada di hadapannya, dia yang terus berlari meski jarak panjang memisahkan pergelangan kakinya, dia yang bersenda gurau tanpa kegelisahan yang menangkupinya. Sama sekali tak berbeban. Namun begitu jahatnya matahari itu. Dalam sekejap tawa si kecil itu memudar, berbalik menyungging tanpa arti, menghujat penuh amarah tanpa memikirkan apa yang dilakukannya. Si kecil itu tak pernah sekalipun kutemui berbalik dan tinggal menemaninya.
Adakah pandangan itu melebihi langit? Adakah ruangan di atas sana, yang jika boleh kuatur, aku menginginkan sebuah ruang kecil penuh tawa dan kegembiraan, tanpa adanya belitan tangis? Apakah aku harus menjilat tanah busuk dan mengayuh angin agar aku sampai ke tempat itu? katakan padaku dengan jujur, hai kau!
Terakhir aku bertanya pada seseorang. Dia memberi jawab kepadaku,”maaf, Dia tak pernah sekali pun berkata-kata di depanku, tak pernah sekali pun mendekat padaku meski dalam jarak dekapan rindu, jadi aku tak bisa mengenalkannya padamu”. Katakan, siapa Dia? Katakan padaku juga, bagaimana aku harus menyampaikan kegetiran yang kurasakan? Kata banyak orang, Dia adalah kawan bicara yang paling bisa dipercaya, tak pernah menyakiti dan selalu bisa membuatku tersenyum. Benarkah ada Seseorang yang seperti itu? Kau, kau yang harus bertanggung jawab atas sukmaku saat ini! Dia terus bergeliat mencoba keluar, namun belum kuizinkan. Aku mohon, sebelum dia keluar dan menjarah milik orang lain, biarkan dia tetap tinggal dalamku, mungkin kau bisa kenalkan aku dengan Seseorang itu. Aku ingin mencoba bertanya padanya, satu hal saja ”akankah sukmaku harus terus gelisah dan beraut sendu? Jika ya, cukupkah satu titik kesabaran itu membayar hutangnya padaMu?”
Jawablah..
Bukan berarti aku menyalahkan keadaan. Namun yang kurasakan saat ini tak lebih hanyalah suasana berkabung tanpa arti yang bermakna. Tak ada satu pun hari yang bisa kuambil sebagai pelajaran. Bukan kebersihan yang kupelajari, bukan tangis pagi yang kunanti setiap tanganku bergerak membuka cakrawala, bukan lantai bersih yang kuinjak tanpa tangis yang membuatnya berkilap, bukan juga pakaian kotor yang kupindai sebagai pemindah tenaga. Hari demi hari, tanganku semakin tak mencukupi untuk menghitung, menggenapi sejumlah waktu yang kutepati sebagai janji untuk menjadi temanku di tempat ini.
Sejenak aku hanya berkeinginan untuk menyapa buku-buku kumal yang tak berharga bagi orang lain, sekejap aku hanya ingin melangkahkan kaki menghisap aroma lain dunia, sedetik saja aku ingin meluangkan waktu melihat pagelaran kecil tentang kehidupan bersama tetua yang mungkin telah menunggu kehadiranku di gedung itu. Namun kurasa, ada orang lain yang sedang meminjam waktu yang kutunggu itu. Dia mencoba meraup goyangan sang fajar, hingga begitu lamanya ia tenggelam.
Rintihanku tak saja membuatku semakin mengecil dan tenggelam dalam buliran pasir waktu, kurasakan dia semakin mengeras, mendekapku semakin kuat dalam sebuah tempat yang tak ingin kukenal. Tempat ini sama saja panasnya, tak bergairah, dan sama sekali tak pernah membuaiku memberikan arahan yang kuperlukan. Sesekali dia hanya berkata ”rasakan kau! Itulah yang kau dapatkan dari sebuah kata yang tak kau pikirkan.”
Apa yang tak kupikirkan sebelumnya? Sesungguhnya aku merasakan sebuah pinangan kehidupan, ada yang menggelitik telingaku, dia menjerit ”KAU DITIPU!”
Mendadak aku hanya bisa diam, berdiri mematung, melirik ke arah kiri dan kanan, bergeliat ketakutan, merintih pada dinding yang tak pernah kulihat sekali pun tersenyum memberiku semangat. Darahku kadang memanas jika melihat awakku menjadi kurus dan tak berisi. Tak pernah mataku diberinya waktu untuk berhenti mengeluarkan air. Tak pernah kasiaanya ia padaku.
Jika kukatubkan mataku, aku melihat si kecil bernyanyi dan terus memanggilku. Dia tertawa dan mencoba merengkuhku pada kehidupan lampau. Dia yang tak pernah merasa gentar dengan apa yang ada di hadapannya, dia yang terus berlari meski jarak panjang memisahkan pergelangan kakinya, dia yang bersenda gurau tanpa kegelisahan yang menangkupinya. Sama sekali tak berbeban. Namun begitu jahatnya matahari itu. Dalam sekejap tawa si kecil itu memudar, berbalik menyungging tanpa arti, menghujat penuh amarah tanpa memikirkan apa yang dilakukannya. Si kecil itu tak pernah sekalipun kutemui berbalik dan tinggal menemaninya.
Adakah pandangan itu melebihi langit? Adakah ruangan di atas sana, yang jika boleh kuatur, aku menginginkan sebuah ruang kecil penuh tawa dan kegembiraan, tanpa adanya belitan tangis? Apakah aku harus menjilat tanah busuk dan mengayuh angin agar aku sampai ke tempat itu? katakan padaku dengan jujur, hai kau!
Terakhir aku bertanya pada seseorang. Dia memberi jawab kepadaku,”maaf, Dia tak pernah sekali pun berkata-kata di depanku, tak pernah sekali pun mendekat padaku meski dalam jarak dekapan rindu, jadi aku tak bisa mengenalkannya padamu”. Katakan, siapa Dia? Katakan padaku juga, bagaimana aku harus menyampaikan kegetiran yang kurasakan? Kata banyak orang, Dia adalah kawan bicara yang paling bisa dipercaya, tak pernah menyakiti dan selalu bisa membuatku tersenyum. Benarkah ada Seseorang yang seperti itu? Kau, kau yang harus bertanggung jawab atas sukmaku saat ini! Dia terus bergeliat mencoba keluar, namun belum kuizinkan. Aku mohon, sebelum dia keluar dan menjarah milik orang lain, biarkan dia tetap tinggal dalamku, mungkin kau bisa kenalkan aku dengan Seseorang itu. Aku ingin mencoba bertanya padanya, satu hal saja ”akankah sukmaku harus terus gelisah dan beraut sendu? Jika ya, cukupkah satu titik kesabaran itu membayar hutangnya padaMu?”
Jawablah..
18 Desember..
Jika kali ini aku bersua dengan dentingan piano dan setitik air anggur,maka percayalah, bahwa hal itu adalah saat terjujur ketika bibirku hanya bisa terdiam. Sayangnya, aku tak bisa melakukannya dengan baik. Tak bisa hidungku mencium aroma rempah pedas yang disampaikan pada ujung gelas tinggi berparas sembilu. Belum bisa, jariku bergerak merapat dengan lentingan manis yang semakin merujuk pada tepuk dan teriakan gembira. Namun, aku tetap berusaha menjadi tuan atas diriku. Tanpa memperhitungkan dengan atau tanpanya.
Begitu bulat kemarahanku saat itu. Dengan segala keberanian, aku hanya ingin mengungkap sebuah kebenaran, bahwa kau kalah pada pilihanmu. Namun apa yang bisa kusampaikan, aku hanya bisa melihat mata sayu yang kau hampirkan pada kalut kesombongan yang terpaku pada bola mataku. Hembusan nafas pilu kuhaturkan pada kekesalan yang membumbung bersama dengan ketakutanmu.
Kupikir saat indah itu akhirnya datang. Aku bahagia melihatnya meringkuk pasrah pada dekapan kuasaNya. Aku bahagia, karena dengan begitu ia hanya memiliki satu Kawan. Aku bahagia, karena segala yang kupertanyakan selama ini berbuah menjadi jawaban pasti yang ingin kudengar dariNya. Semua diberikan pada hari itu.
Diam, Ariel.. diamlah. Kau hanya bisa tertunduk menyerah saat ini. Janganlah berpikir bahwa kau telah berhasil melarikan diri dari kesalahan yang telah kau lakukan. Apa yang kau harapkan saat ini? Kawan? Kawan yang kau anggap ada selama ini? Mereka tidak ada! Mereka menghilang tepat saat air matamu mengucur pada titik pertama. Mereka berlari menjauh tepat pada saat kau ingin tersenyum melepas segala gundahmu. Ibu? Dia terlalu letih untuk kau berikan cerita pengantar mimpi buruk. Jangan sentuh hatinya dengan tangisan lagi. Detak jantungnya tak sekuat ketika ia berenang dengan pakaian renang polkadot kesayangannya. Lututnya pasti akan kembali terhentak dengan segala tutur yang kau sampaikan.
Tak apa, karena dengan begitu, aku bisa melihatnya meringkuk pada lututNya. Hanya itu yang aku inginkan. Biarlah segala kekalutanku hilang dengan sendirinya. Tenanglah..
Begitu bulat kemarahanku saat itu. Dengan segala keberanian, aku hanya ingin mengungkap sebuah kebenaran, bahwa kau kalah pada pilihanmu. Namun apa yang bisa kusampaikan, aku hanya bisa melihat mata sayu yang kau hampirkan pada kalut kesombongan yang terpaku pada bola mataku. Hembusan nafas pilu kuhaturkan pada kekesalan yang membumbung bersama dengan ketakutanmu.
Kupikir saat indah itu akhirnya datang. Aku bahagia melihatnya meringkuk pasrah pada dekapan kuasaNya. Aku bahagia, karena dengan begitu ia hanya memiliki satu Kawan. Aku bahagia, karena segala yang kupertanyakan selama ini berbuah menjadi jawaban pasti yang ingin kudengar dariNya. Semua diberikan pada hari itu.
Diam, Ariel.. diamlah. Kau hanya bisa tertunduk menyerah saat ini. Janganlah berpikir bahwa kau telah berhasil melarikan diri dari kesalahan yang telah kau lakukan. Apa yang kau harapkan saat ini? Kawan? Kawan yang kau anggap ada selama ini? Mereka tidak ada! Mereka menghilang tepat saat air matamu mengucur pada titik pertama. Mereka berlari menjauh tepat pada saat kau ingin tersenyum melepas segala gundahmu. Ibu? Dia terlalu letih untuk kau berikan cerita pengantar mimpi buruk. Jangan sentuh hatinya dengan tangisan lagi. Detak jantungnya tak sekuat ketika ia berenang dengan pakaian renang polkadot kesayangannya. Lututnya pasti akan kembali terhentak dengan segala tutur yang kau sampaikan.
Tak apa, karena dengan begitu, aku bisa melihatnya meringkuk pada lututNya. Hanya itu yang aku inginkan. Biarlah segala kekalutanku hilang dengan sendirinya. Tenanglah..
Langganan:
Postingan (Atom)