Minggu, 24 Juli 2011

Sebut Aku DIRECTOR...

Tau iklan rokok (ga akan disebut namanya di sini) yang memakai jasa tiga orang laki-laki ditambah satu orang jin ala kadarnya itu? Kalau ga salah settingnya di pulau terpencil. Dengan alur cerita yang mungkin bisa disederhanakan menjadi seperti ini: mereka diberi kesempatan oleh si jin untuk menyebutkan tiga permintaan. Si A minta untuk dipulangkan, si B minta apa ya? Lupa. Anggep aja minta sesuatu yang akhirnya bikin dia ga ada di pulau itu lagi. Dan si C, karena dia merasa kesepian, maka dia meminta untuk mengembalikan A dan B ke pulau itu lagi. Oke. Coba tebak apa yang akan menjadi pembahasan kali ini. Kita urutkan menjadi poin-poin di bawah ini:

1. Jin ala kadar itu bisa dimaksimalkan dengan lampu mungkin? Atau setidaknya botol mungil biar sedikit menutupi kalau dia adalah benar-benar jin “Aladin” yang jasanya bisa dipakai untuk mengabulkan permintaan? Terlepas dari ide cerita yang disajikan, maka aku sebagai seorang penonton bisa seenaknya memberikan kritik yang tidak membangun.

2. Yang menjadi pertanyaan pokokku adalah, sekali lagi, terlepas dari kemauan si pembuat cerita iklan, kenapa permintaan itu tidak dimulai dengan kata “kami mau... bla bla bla (sebutkan permintaan)”. Ketika mereka menggunakan kata “aku mau... bla bla bla (dan akhirnya mereka menentukan keinginan masing- masing)”, maka yang didapat justru malah sesuatu yang merugikan.

Baiklah. Begini logika kasarnya. Anggap saja mereka adalah tiga orang yang “memutuskan” untuk pergi ke pulau terpencil itu. Mungkin latar belakang mereka sampai di tempat itu adalah karena mereka terdampar, atau kapal yang mereka naiki karam? (oke, ini tidak mungkin, karena jika kapal karam, maka yang ada di tempat itu bukan hanya mereka bertiga).

Atau mungkin mereka jatuh dari banana boat, kemudian mereka berenang ke pulau itu? (ini juga tidak masuk akal, karena supir banana boat pasti akan mencari mereka, atau paling tidak, ada empat orang di scene itu). Atau mungkin mereka sengaja dibuang oleh orang tua mereka, karena dianggap kurang memenuhi syarat sebagai “anak normal”? Atau apa ya?

Tidak akan selesai satu buku untuk menceritakan kemungkinan bodoh itu. Tapi satu poinnya, mereka adalah teman akrab, yang akhirnya mau berada di satu lokasi yang bisa kita anggap sebagai “lahan berbahaya”. Jika tidak, mereka pasti tidak akan mau melakukannya. Aku tidak akan mau berada di pulau terpencil itu bersama Raymond (teman masa TK, yang selalu jalan-jalan dan naik ayam-ayaman ketika teman-teman lainnya senam pagi, yang selalu menggeser lenganku dan menghabiskan sisa meja ketika kami diajari untuk tidur siang di kelas, dan yang selalu mengambil jatah sup merahku. Dia, yang selalu menjajahku waktu aku TK!). Dia bukan teman akrabku, maka aku tidak akan mau berada di pulau terpencil bersama dia.

Yang bisa kujadikan pilihan adalah, yang pertama, Desta. Hahahahahahahahahahaha... Gosh!! Dia bukan teman akrabku sih, tapi aku nge fans berat sama dia. Mimpi terbaik sepanjang masa adalah bisa membuat iklan jadi-jadian ini. Okelah, paling tidak, dia tidak akan memerdulikan siapa aku. Tapi dalam kasus pulau terpencil, aku bisa dengan mudah mencari celah untuk pura-pura kedinginan mungkin? Atau pura-pura dehidrasi dan tidak bisa berenang? Ngak ngak ngak ngak ngaaaak..

Yang kujadikan pilihan kedua.. Mmmmm.. Tidak ada!!! Hahahahahahahahhaha.. Aku maunya berdua sama Desta..

Tidak penting, terlalu panjang untuk sebuah pengandaian. kembali ke topik awalku. Yap, teman akrab. Sahabat. Karib. Sanak. Atau apa pun sebutannya. Ketiga laki-laki tadi. Seharusnya, menurut sudut pandang seorang sahabat karib, jika aku menjadi si A, aku tidak akan tega membuat permintaan “aku mau pulang”. Karena itu berarti, aku akan meninggalkan dua orang temanku di pulau itu, dan mungkin kosnsekuensi yang akan kudapat adalah, aku akan kehilangan mereka. Dan jika aku benar-benar bersama Desta, aku tidak akan mengatakan itu. Aku tentu akan mengatakan “He’s mine”.

Si B, karena aku lupa dia mengatakan apa, aku tidak bisa menuliskan komentar. Tapi yang jelas, dia juga tega meninggalkan satu temannya. Aku tidak tahu apa masalah si C, mungkin dia adalah sesosok orang yang menjengkelkan, dan kedua rekannya memang sengaja meninggalkan dia di tempat itu. Sungguh jahat. Aku juga pernah melakukan itu di jaman SMP. Aku pernah meninggalkan temanku dengan alasan sederhana. Karena dia bau badan. God! Mengerikan! Aku tidak bisa hidup bersamanya dengan bau badan seperti itu. Akhirnya aku menjauhinya perlahan. Sungguh jahat kalau ini. Maklum, masih SMP. Jadi gapapa.

Tapi si C sungguh pintar. Dia tidak mau kehilangan teman-temannya, jadi dia meminta “kembalikan teman-temanku”. Itu pasti yang akan kulakukan ketika Desta menolakku mentah-mentah waktu aku “menembaknya” lewat bantuan jin.

Ariel : Buat dia jadi milikku.

Desta : Tidak! Pulangkan dia!

Ariel : Kembalikan dia ke sini!

Tiga permintaan terkabul, dan Desta akan tetap bersamaku. Kikikikikikikiki..

Aneh. Sunggguh aneh. Jika aku menjadi mereka, aku tidak akan mengatakan “aku”. Ingat. Kita harus belajar memanfaatkan segala sesuatunya dengan baik. Dua, jangan terlalu egois. Kita pernah belajar bahasa Indonesia, dan kata aku, bisa kita ganti dengan kami. Apa yang terjadi ketika permintaan itu ditulis menjadi seperti ini :
“Kami ingin pulang” (satu permintaan). Mereka masih memiliki dua sisa permintaan. Tidak pelu diucapkan oleh satu orang, kan? Mungkin untuk permintaan kedua mereka bisa minta “Ariel dan Desta dipertemukan dalam pulau terpencil itu”? Dan mungkin, permintaan penutup bisa disajikan dengan permintaan besar mereka yang lain?

Aaaahhh.. Namanya manusia. Keakuannya terlalu tinggi. Ketika aku terlalu mengenal diriku sendiri, dan tidak mencoba memahami orang lain yang ada di sekelilingku, aku sama sekali tidak akan pernah menunduk, dan mencoba mengatakan “kita..”. Yang ada hanyalah, bagaimana membuat si aku menjadi bahagia, dengan atau tanpa “kamu”, “kita”, “kami” di sekitarku.

Sulit memang. Tapi perlu dipelajari. Mencoba menghilangkan aku, dan belajar mengenal dia, kamu, kalian, kita, atau apa pun itu. Cobalah. Kita (temasuk aku) sama-sama mencobanya.Desta juga mau ya? ngak ngak ngak ngaaaakkkk...

Fight for The Best,

And prepare for the worst...

Pernah mendengar sebaris judul digabung dengan satu kalimat di atas ini? Jika tidak, itu adalah salah satu kalimat yang aku sukai. Mempersiapkan untuk yang terburuk. Menyediakan beberapa rencana untuk mengatasi sesuatu. Jika semua rencana yang telah direncanakan gagal. Maka tetap saja, aku akan mengalami sesuatu yang dinamakan TERBURUK..

Aku tidak terlalu memikirkan judul yang kubuat. Karena bagiku, memberikan semangat untuk melakukan sesuatu jauh, jauh, dan jauh lebih mudah dari pada harus mempersiapkan diriku untuk menerima yang tidak kuinginkan.
Sama halnya dengan saat ini. Tidak terasa, tepat dua bulan aku mengerjakan skripsiku. Sebuah karya tulis, yang menurutku biasa saja, namun bisa mengantarku menuju barisan kursi di dalam Grha Sabha Pramana. Aku sangat paham dengan isi tulisan yang kubuat. Sebuah rangkaian singkat yang kulalui dalam hidupku, sebuah cerita yang kubuat dengan gaya bahasa yang sedikit ilmiah. Itu saja bedanya. Aku hanya menceritakan kisah hidupku sebenarnya. Aku mengeluh ketika membuatnya? Iya. Aku mengalami titik kebosanan dan kemalasan ketika aku kalah pada rasa kantuk? Tentu iya. Aku mengalami rasa suntuk ketika semua orang bertanya rangkaian cerita itu sampai di mana? Tidak ada yang menjawab tidak, termasuk aku.

Aku mencoba sesantai mungkin mengerjakannya. Tanpa sedikit pun tekanan. Aku bisa mengerjakannya satu minggu penuh tanpa istirahat yang cukup, namun aku juga butuh udara segar Bandung ketika aku mulai jenuh melihat berpuluh-puluh lembar tulisan itu menggelayut di depan mataku. Semuanya bermula dari nol. Nol puthul kalau kata orang Jawa. Tidak ada satu ide pun yang muncul. Tidak ada satu niatan yang utuh untuk memulai awal sekaligus akhiran untuk perkuliahanku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan yang namanya periklanan. Baris-baris iklan yang mengantongi kolom televisi itu akan mempertemukan aku dengan dosen muda (yang akhirnya diberhentikan oleh pihak kampus. Ngak ngak ngak. Akhirnya!! See yaaaa..). Aku juga tidak tertarik dengan dunia jurnalisme, karena aku pikir aku akan menghabiskan waktu yang lama untuk menemui dosen parlente yang akan membimbingku. Dia parlente dan sangat kuidolakan, sampai dia memberiku nilai D, karena AKU TIDAK MEMBELI BUKU TERBITANNYA. WHAT THE FUCK..?!?!?

Dua kali aku mengalami kejadian ini. Yang satu lagi mata kuliah Kewarganegaraan. Namaku tidak tercatat di daftar mahasiswa yang membeli buku norak tanpa isi yang dibuat oleh dosenku. Aku sudah memiliki niat cukup baik untuk mengcopy buku itu. Tapi ternyata, niatan itu terbayar dengan nilai C yang kudapat. Absenku penuh, aku mempelajari buku aneh itu, dan aku selalu mencatat materi yang disampaikannya. Aku pikir, aku bisa mendapat nilai A dengan sangat mudah. Sampai aku harus mengetahui bahwa status ujian kali itu adalah ujian terbuka. TERBUKA, yang artinya, semua jawaban bisa dilihat di buku mana pun. Dan betapa terkejutnya aku, ketika aku menyadari bahwa semua jawaban itu bisa langsung dipindahkan dari buku yang dikarangnya. Aku memikirkan cara paling sederhana untuk mendapat nilai A yang kuinginkan. Kutulis isi bukunya, dan kutambahi sedikit opini. Tapi ingat, buku yang kumiliki hanya hasil PHOTO COPY (bukan asli karangan dosen itu). Alhasil? Nilai terbaikku untuk pemahaman akan akhlak dan moralku sebagai bangsa Indonesia dinilai dengan huruf C bulat. Bagian fight ku kali ini dijegal dengan dua puluh lima ribu yang harus kukeluarkan untuk membeli buku tidak bermutu itu. Mulai paham dengan arti mempersiapkan yang terburuk?

Sekali lagi, aku tidak pernah terlalu memikirkan dengan cara apa aku bekerja. Sama seperti saat ini. Aku berjuang keras melawan rasa malasku untuk lulus. Dengan caraku tentunya, dengan ruang perpustakaan yang kadang ribut di siang hari, dengan AC nya yang kadang mati dan kadang hidup (dan percayalah, itu cukup membuatku pusing), dengan mata yang semakin sayu, dengan bir dingin, dengan rokok yang lebih banyak, dengan liburan ke Bandung dan beberapa aktivitas baru lainnya, dan dengan cukup banyak doa.

Sedikit informasi : hari ini aku berhasil menyelesaikan 96 halaman skripsi yang aku buat (belum termasuk daftar isi, lampiran, dan daftar pustaka. Mungkin jika ditambahkan, akan mencapai sekitar 100 lembar lebih). Tidak terlalu banyak untuk ukuran skripsi. Tapi cukuplah kurasa. Aku tidak mau membuang banyak waktuku untuk menambah rangkaian cerita ilmiah ini. Dan besok pagi, aku berencana membuat cetakan yang harus kutunjukkan pada dosen pembimbingku. Mudah-mudahan tidak ada revisi yang terlalu banyak.

Aku masih tidak percaya. Selesai! Aku masih tidak percaya aku bisa menuliskan kata SELESAI untuk hasil karyaku selama ini. Wauw !!! it’s WAUW..

Gila, bok!!!

Sebenarnya belum benar-benar selesai sih, karena skripsi itu belum dicetak dan diperbanyak untuk kubagikan pada beberapa pihak. Tapi sama aja lah menurutku. Aku merasa, aku berhasil!!!

Dengar??

AKU BERHASIL menyelesaikannya..

Tinggal tunggu cerita berikutnya.. Tentang bagaimana aku harus masuk ke dalam ruang sidang, dan aku harus menanti kapan aku diwisuda.

Atau hasil terburuk lainnya mungkin?

Who knows?

Kamis, 21 Juli 2011

Selamat Pagi, Duniaaaa..

21 Juli

Menunggu sebuah hari besar dalam hidupku ternyata biasa saja. Aku tak sadar, bahwa tiga jam terselang dari saat ini, aku berumur baru. Kuhabiskan waktu hari ini dengan sebuah perjalanan panjang menuju Yogyakarta, sebuah kota kecil, yang akan membawaku menuju awalan baru. Tidak terbersit dalam pikiranku bahwa esok adalah benar-benar hari besar. Bagi anak seusia balita, saat itu mungkin saat membahagiakan untuk mereka, di mana lemari mereka akan dipenuhi dengan pakaian-pakaian baru, di mana perut mereka akan terjejali dengan makanan-makanan asing yang jarang diasupkan dalam daftar gizi mereka, di mana semua bibir akan berebutan untuk menciumi setiap bagian tubuh yang bisa dicium, di mana serentetan doa akan terus tercurah di atas kepala mereka.

Sementara aku..

Aku hanya ingin menyematkan sedikit harapan, bahwa esok adalah hari indah, di mana langkah awal akan kuinjak, di mana tiap baris doa yang kusampaikan benar-benar berasal dari dalam hatiku..

Dan saat di mana SEMUA orang yang kusayang akan benar-benar hadir dalam hidupku..

And the day has come..

22 Juli

Satu hari paling kubenci dalam hidupku. Hari besar ini tiba-tiba datang, dan memang akan selalu begitu. Jika aku bisa membuat sebuah harapan, aku tidak ingin hari ini ada. Karena akan selalu sama setiap tahun. Selalu diawali dengan tangisan.
Aku masih ingat betul, di saat usiaku dua tahun, hari di mana pertama kalinya ulang tahunku dirayakan. Ayah dan Ibuku datang ke Tulungagung, kota di mana aku dibesarkan oleh nenekku hingga usiaku menginjak usia sekolah. Bayangkan! Dua tahun. Saat di mana ingatanku seperti sponge basah yang siap merekam kejadian apa pun dengan baik, bahkan sampai hari ini. Bisa dipastikan bahwa kejadian tersebut masuk dalam barisan kejadian yang tidak menyenangkan. Aku hanya duduk terdiam, tidak terlalu mengerti bahwa hari itu seharusnya aku tertawa dan bahagia, bukannya menangis dan merengek karena puluhan balon yang ditiup untukku tiba-tiba pecah dan membuat tangisanku tak berhenti.

Sesederhana balon, ditambah segaris lurus rangkaian ulang tahun yang tidak pernah kunikmati di mana bagian menyenangkannya. Aku masih ingat betul, saat teman-teman TK dan SD ku membagi-bagi coklat atau memberikan undangan makan bersama untuk kami, atau saat mereka diberi ucapan selamat sebesar papan tulis, atau saat teman-teman mereka memberikan kejutan luar biasa besar, hingga mereka bisa menghabiskan hari itu dengan senyum yang lebar dan puas.

22 Juli

Adalah hari di mana aku harus bangun, dan mempersiapkan diriku untuk dilupakan oleh banyak orang.

22 Juli
Adalah sebuah waktu di mana aku tidak pernah memiliki harapan yang patut untuk kusampaikan.

22 Juli

Adalah sebuah waktu, di mana aku selalu ingin menjadi orang yang paling bahagia di dunia, dengan cara yang paling sederhana sekali pun.

22 Juli

Adalah saat di mana ketabahanku diuji untuk kesekian kalinya. Aku ingat benar, bagaimana aku memulai hari ini, selalu, dan selalu, dengan titik tangis.

22 Juli

Aku tidak menyukai hari ini.. Dengan alasan apa pun yang melatarinya.

22 Juli 2011

07.10

Dalam diriku mengenal apa yang dinamakan dengan pasrah. Aku cukup bersyukur dilahirkan menjadi seseorang yang bisa menerima keadaan dengan amat baik. Dan aku cukup bahagia ketika aku terlahir menjadi seseorang yang bisa membuat segalanya tampak baik-baik saja dalam hitungan kejapan mata.
Bukan berarti ketika aku menjadikan hari ini sebagai hari yang tidak kusukai, aku juga harus menjadi seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang di sekelilingku.

Jujur, ada kalanya aku ingin menjadi satu makhluk yang dibalik keberadaannya. Mungkin aku bisa menjadi seorang wanita yang lahir pada tanggal 25 Desember, di mana kelahirannya akan dirayakan dengan penuh syukur dan doa dari mulut banyak orang. Atau mungkin aku bisa menjadi seorang girl on the spot, di mana semua orang yang dimilikinya selalu ada untuk membuatnya tersenyum. Atau mungkin ini, atau mungkin itu, atau mungkin lainnya, dan aku yakin, kemungkinan yang aku sampaikan tiap tahunnya akan selalu sama, di mana aku selalu berharap bahwa pagi yang kujelang menjadi satu pagi yang dipenuhi oleh tawa. Namun yang terjadi adalah, aku tidak pernah mendapatkannya. Sama seperti hari ini.

Yah, apa boleh buat? Aku pikir, tidak ada hari yang diciptakan khusus untukku. Tidak ada orang-orang yang dikhususkan untuk mengingat siapa aku, atau kapan aku ingin bahagia. Hari ini hanya penanda, bahwa aku terus menjadi suatu raga yang bertambah tua, dan menjadi satu pribadi yang terus berkembang. Kebahagiaan itu bisa kuraih dengan caraku sendiri.

07.27

Membuat semuanya menjadi indah tidaklah mudah. Hari ini adalah awal baru dalam penghitungan 365 hari ke depan. Perjalanan itu kumulai, dan aku rasa aku harus memulainya dengan ucapan syukur, bahwa aku masih bisa menangis, itu artinya, kantung air mataku masih berfungsi dengan baik.

Aku yakin masih banyak orang yang sama sekali tidak pernah merasakan apa yang dinamakan dengan hari ulang tahun. Sepulu ribu orang di belahan dunia lain mungkin merasakan hal yang sama denganku. Mungkin mereka akan berkata bahwa hari ini adalah hari terburuk mereka (sama sepertiku), atau mungkin mereka akan mengatakan bahwa hari ini adalah hari terindah untuk dilalui. Mungkin saja, di Somalia, tidak ada sinyal handphone yang bisa memudahkan sanak atau orang tersayang mereka menyampaikan ucapan hari kelahiran ini. Pikiran terburukku bisa saja menjadi titik harapan untuk orang yang merayakan hari ulang tahunnya saat ini.

07.35

Jika aku terus berpusing memikirkan apa yang kuinginkan, mungkin semuanya akan terus berlalu dengan mudahnya. Kurasa, aku terlalu egois jika berhadap semua kinginanku akan terwujud hari ini. Siapa aku, yang bisa seenaknya merancang hari untuk bisa dilalui sesuai dengan pemikiran duniawiku?

Jika aku bisa menyederhanakan semuanya, aku akan meringkas hariku menjadi dua buah kata. TERIMA KASIH.

Untuk semua yang telah kualami 365 hari ke belakang. Untuk semua yang masih mengingat keberadaanku. Untuk semua tawa dan tangis. Untuk semua kesempatan. Untuk hari ini. Untuk yang mengizinkan aku menikmati hari ini (read as God).

07.38

...HAPPY BIRTHDAY to ME...

Syndrome Ibu Kota..?? Sewagu Dandanan Wadam..

Sape lo?

Lha njenengan sinten to?

Kok elo yang nanya?

Lha nggih wajar to nek kulo sing tanglet, wong sampeyan riyin sing tanglet kulo sinten oq..

Ngomong ape si lo?

Aneh to sampeyan niki. Mangkane to, ngomong sing apik. Ra nganggo boso aneh ngono kui.

Siapa yang salah?

Ada yang salah?

Atau keduanya benar?

Pasti keduanya tidak pernah belajar Bahasa Indonesia, kan?

Atau keduanya tertukar di dunia yang salah?
Yang satu beranjak menuju Jawa, dan yang satu bertolak menuju Jakarta (yang katanya kota labuhan semua mimpi?)?

Atau mungkin mereka bertemu di dalam kereta tua, dan mulai berbincang di Ngapak Zone (karena aku pikir, di daerah itu bokong penumpang mulai pegal, dan mereka mulai mengalah untuk mengajak lawan di depannya untuk bercengkerama)?

Atau mereka sengaja membuka jejaring sosial, kemudian memulai sebuah percakapan yang sulit dimengerti antar keduanya?

Pasti mereka berusaha saling mengerti apa yang dinamakan berkomunikasi dengan bahasa yang dinetralkan.

Pasti mereka masuk dalam taraf making an important point to make some great conversation. At least, they become to be a good listener for the other.

Lho? kok malah keminggris saiki?

Iya ni! Banyak gaya!

Kenapa emang? Ini kan cerita yang aku buat sedemikian rupa, biar kalian-kalian itu tidak bosan. Ga usah protes deh.

Aku belum selesai membuat pengandaian untuk kalian berdua. Begini logikanya, jika aku berusaha memasuki ketakutanku akan Jakarta dengan tulisan ini, maka aku akan menjadi si Jawa yang berusaha berinteraksi dengan bahasa yang lebih baik. Namun jika aku menjadi si Jakarta yang mulai bosan dengan kehidupannya di kota besar itu, maka aku akan berusaha membuat bahasaku lebih enak untuk didengar.

Ini momok yang harus kulunturkan. Dua puluh tiga tahun aku berputar-putar di sekitaran Jakarta. Bayangkan. Dua puluh tiga tahun. Okelah, lima tahun pertama aku tidak sadar bahwa aku berada sepenuhnya di bawah ketek Mama, dan tidak mungkin aku bilang sama dia, “Ma, aku ke Jakarta dong”. Dia pasti berteriak, dan membuangku ke got jika aku melakukannya. Lima tahun berikutnya, aku tidak pernah ditawari untuk berlibur ke sana. Dan aku sama sekali tidak pernah menanyakannya. Lima tahun kemudian, aku tidak pernah melewati masa remaja dengan berasumsi untuk menjadi anak band atau artis terkenal di Jakarta. Dan delapan tahun sisanya, aku hanya meliriknya dari atas kendaraan yang kunaiki. Hanya kulirik, dan tidak pernah terbersit sedikit pun bahwa aku akan menginjakkan kakiku di kota itu. Sama sekali tidak. Tidak sama sekali.

Kalian tahu lagi Sheila on 7 yang berjudul Tunggu Aku di Jakarta? God!! Itu lagu perih yang benar-benar membuat aku harus berpikir bahwa Jakarta adalah satu-satunya tempat yang bisa membuat orang bisa berkembang. Berkembang di sini dalam artian bahwa mereka bisa menjadi orang kaya, paling tidak dalam waktu dua tahun. Berkembang di sini juga bisa diartikan sebagai pengendalian rasa rindu jika salah satu dari dua sejoli berada di kota itu.

Ada apa dengan Jakarta? Apa karena di sana jual kerak telor? Apa karena di sana dijual pakaian dengan merek-merek ternama? Apa karena di sana ada Istana Negara? Apa karena di sana ada artis-artis dengan dandanan yang kadang lebay? Apa karena di sana ada “Gue” dan “Elo” (salah satu penanda anak gaul di mana pun)? Gila, untuk bagian ini, logat kental yang kumiliki tidak akan menjadikanku sebagai anak gaul sepanjang hidup. Untung aku sudah berusia 23 tahun. Jadi paling tidak, aku tidak akan diberi label “anak”.

Seumur hidup, aku tidak pernah melampaui kemampuan kakak perempuanku (kecuali untuk badan yang lebih langsing dan kaki yang lebih panjang). Bahkan, untuk urusan pergi ke Jakarta. Dia sudah berulang kali ke sana, dan dia tetap baik-baik saja. Aku? Hingga hari ini, aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke sana. Bayanganku adalah, aku akan dibawa menuju daerah Kemang jika aku bertanya di mana itu Cikini. Bayangangku adalah, aku akan membayar harga 1 mangkok soto dengan nominal 10 mangkok soto di Malang atau Yogyakarta. Bayanganku lagi, aku akan mati kepanasan di dalam angkot, sementara aku bukanlah orang dengan kelenjar keringat yang normal. Tidak, tidak, tidak, tidak!!!! Bayanganku jauh lebih buruk dari kemacetan yang ada di sana.

Ini adalah cerminan rasa takut seorang anak Malang yang belum pernah sama sekali menuju Jakarta.

Lha terus piye, Mbak?

Iya ni. Geje..

Namanya juga sindrom ketakutan. Setidaknya, kalian baru pertama kali menemui orang yang benar-benar takut untuk menuju Jakarta kan? Itu cerita menarik yang bisa kalian ceritakan tauk! Sedikit memalukan sebenarnya, tapi emang bener.

Rabu, 20 Juli 2011

Jawining Ati

“Konon, mereka yang lahir pada hari ini cenderung bersifat jujur. Bahkan, mereka terkadang mungkin terlalu jujur, sebab mereka adalah tipe orang yang suka mengungkapkan pikiran mereka tanpa tedeng aling-aling! Mereka cukup teguh dengan pendirian mereka, tetapi sikap seperti ini terkadang juga menghambat kemampuan mereka untuk menerima orang lain secara apa adanya. Sebaiknya kita tidak memancing amarah mereka, karena mereka dapat bertindak ekstrim bila sedang naik darah. Meskipun demikian, mereka setia dan murah hati terhadap orang-orang yang dicintainya. Simpati mereka mudah timbul sehingga tidak keberatan untuk bertindak di luar jalur mereka untuk membantu teman atau bahkan orang asing.”

Itu adalah aku, menurut ramalan weton Jawa di kelahiran 22 Juli 1988. Dua hari lagi..

Menunggu saat hari lahirku bertambah adalah sesuatu yang rumit. Mencoba berbagi dengan waktu, dan mencoba bersahabat dengan dunia baru. Dua puluh tiga tahun, sebuah judul puitis untuk kelahiran nyawa baru dalam diriku.

Dua hari, dan segalanya akan berakhir menjadi baru. Kututup dua puluh dua tahun 363 hariku dengan sesuatu yang menyegarkan. Aku akan mencoba memastikan, bahwa hari itu adalah hari terbesar dalam hidupku..!!!

Kamis, 07 Juli 2011

REPOT SEMBILAN HARI TUJUH MALAM....!!!

Sebuah kisah, atau sebuah cerita yang kadang enggan kubagi adalah ketika aku harus berdiam diri dan tidak mengatakannya pada siapa pun. Dengan berbagai alasan, dengan berbagai pilihan, dengan berbagai keingingan yang terbendung, namun tetap tak bisa disampaikan. Ah, apalah artinya?

Cerita ini akan mulai berarti ketika aku harus menyampaikan kata maaf pada beberapa pihak. Cerita ini akan benar-benar dimulai, ketika semua mata membelalak di depanku. Tetap dengan kata-kata yang sama “HAH? Beneran, Riel?”

Dan saat itu aku hanya tetap diam, menunggu ada yang membantuku untuk menjawab semua pertanyaan konyol itu. Siapa? Siapa yang berkenan membantuku?

Aku berpikir untuk tidak terlalu lama meninggalkan jejak di kota panas ini. Semakin lama aku di sini, maka bau-bau cerita dan keterpendaman itu akan semakin menyeruak di permukaan.

Ih, WAUW.. Apaan si? Kayaknya seru banget ceritanya?

Ow ya iyalah..

Berkenan membagi?

Mana yang kau pilih untuk kuceritakan? Karena semua jawaban dari cerita hidupku itu akan berakhiran dengan kata yang sama. “HAH? Beneran, Riel?”

Kenapa bisa begitu?

Karena aku telah melakukan sebuah pilihan. Kamu pernah baca tulisanku yang berjudul E atau S? Itu yang kulakukan selama ini. Entah benar atau salah, tapi pada akhirnya aku telah membuat sebuah keputusan, jawaban dari beberapa pilihan. Dan aku tidak menyangka bahwa semua jawaban itu membuat beberapa orang, dan banyak orang lainnya terbelalak. Entah mereka terkejut, atau tersedak karena makanan yang dimasukkan dalam kerongkongannya (atau tenggorokan?).

Lalu? Kau mau menceritakan yang bagian mana?

Yang mana ya? BAGAIMANA DENGAN KUNJUNGAN DUA ORANG DARI BANDUNG?

Yang mana saja lah.. Terserah..

Baiklah..

Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai cerita ini. Tapi mau bagaimana lagi. Ada beberapa orang yang perlu tahu, bahwa kedatangan mereka membuat hidupku benar-benar berantakan.

Kamis, 30 Juni 2011

Aku, hanya aku yang mendapat kabar bahwa mereka akan datang ke Yogya (itu menurut Lukvi). Dan menurutnya juga, salah satu alasan terkuat mereka datang ke Yogya adalah untuk menemui Mbak Ariel. Dan hingga tulisan ini termuat, aku tidak mau memercayainya! Karena aku tetap menganggap, bahwa apa yang mereka inginkan adalah merasakan Sungai Elo, bukan bertemu muka Mbak Ariel yang semakin masam dan menciut ketika melihat mereka datang.

Kujelaskan terlebih dahulu. Mereka= dua orang anak Kapinis. Berinisial I (baca saja Indra), dan W (cukup kau baca dengan Wisnu). Kedua anak ini (kusebut anak, karena mereka belum menginjak usia 20 tahun. Dan aku tetap tidak terima pada pernyataan Lukvi, bahwa mereka sudah mengenal yang namanya mengejar mbak-mbak di usia semacam itu) memberi kabar bahwa mereka membulatkan tekat untuk datang ke Yogya.

“Kita ga mau merepotkan Mbak Ariel sama yang lainnya di sana.”

Dalam bayanganku, kata merepotkan di atas dapat diasosiasikan dengan bertemu, makan bersama, dan pergi bersama.

Kalian laki-laki. Dan seharusnya, modal utama laki-laki itu terletak pada tulang di lidahnya. Karena kalian belum cukup umur, maka kuberi tahu ya. Lidah itu memang tak bertulang, jadi wajar jika kalian tetap melakukan hal-hal yang cukup membuatku repot beberapa hari (dan jauh berhari-hari kemudian). AKU MARAH!!!!!!

Seharusnya, ketika kalian benar-benar menginginkan untuk datang ke Yogya dan tidak merepotkan siapa pun, maka kalian tidak perlu menghubungi siapa pun, termasuk aku. Oke? Itu poin pertama yang harus kalian pahami mengenai kata “merepotkan”.

Kedua, aku tidak tahu sejauh mana persiapan kalian untuk datang ke sini. Apakah hanya sekedar gaya yang luar biasa “GAK BANGET’, ataukah kalian benar-benar sudah menyiapkan perbekalan, paling tidak untuk tidur dan makan? JAWAB!!! Kalian tidak menyiapkan sama sekali, kan? Bekal kalian hanya pesan singkat “ga mau merepotkan?”. GOOOODDDD!!! Aku tidak tahu harus menyampaikan kemarahan ini pada siapa lagi.

Please Indra.. Lain kali, kamu jangan berani-berani datang dengan rambut direbonding lagi. Aku sudah menyiapkan gunting kuku untuk memotongnya. Gunting kuku gajah.. Jadi, sekalian kepalamu yang terpotong.

Bertepatan dengan itu, aku harus berdebat dengan salah satu orang yang kukenal. Aku benar-benar merasa kesal ketika aku harus dipojokkan pada situasi yang tidak kulakukan sama sekali. Aku tidak merasa salah ketika “mereka datang dengan alasan Mbak Ariel”. Di mana letak kesalahanku? Karena aku bahagia mereka datang (SEKALI LAGI, AKU BAHAGIA LOH)? Karena aku rela mambagi waktuku yang singkat dengan mereka? Ketika aku harus bingung ke sana dan ke mari, mencari cara termurah untuk membiayai mereka? Ketika untungnya, aku ditemani Lukvi, sementara anak-anak yang lain pergi?

Hingga hari ini berakhir, aku sama sekali tidak menemukan jawaban di mana letak kesalahanku. Hanya marah, marah, dan marah yang bisa kurasakan. Karena mereka, karena Mbak Ariel, karena perdebatan yang seharusnya tidak ada, karena aku tidak membawa celana dalam untuk ganti ketika aku menginap di tempat Lukvi, dan karena pesan singkatku tidak dibalas sama sekali.

Jumat, 1 Juli 2011

Hari wanita. Aku dan Lukvi memutuskan untuk melakukan perawatan diri. Kamu tahu, Yasin? Dia ada bersamaku seharian penuh. Hahahahahahahahaha.. Maaf ya.. Kamu pasti akan semakin menjauhkan aku dari kekasihmu, ketika kamu berhasil menemukan link untuk masuk dalam dunia mayaku. Agagagagagagagaga..

Berjam-jam.. Kami sibuk melulur, mengecat, melakukan segala sesuatu yang membuat kami tidak produktif di kampus. Menyenangkan..

Sore menjelang. Kami mulai membayangkan apa yang terjadi esok hari. Kami belum menyiapkan apa pun, termasuk dana yang harus kami sisihkan untuk mereka (dan akhirnya bukan menyisihkan, tapi menghabiskan).

Kunci utama hari ini adalah “membuat semua pihak menjadi nyaman”. Kami berdua merancang hari kami sedemikian rupa. Membuat semuanya menjadi mungkin untuk dilakukan. Melakukan pengandaian, dan mencari jalan keluar untuk pengandaian itu.

*aku tidak tahu, bahwa semua yang kami andai-andaikan, benar-benar terjadi. Jadi, aku berencana ke rumah Lukvi sebelum aku benar-benar pergi dari Yogya. Aku rasa semua pengandaian kami akan berhasil untuk yang kedua kalinya*.

Membuat semua pihak menjadi nyaman juga tidak mudah ternyata. Apa yang harus kamu lakukan seandainya kamu harus memilih antara teman, keluarga, kekasih, atau dua orang yang tak diundang?

Begitu yang kami rasakan (tapi setidaknya, aku tidak berkutat di kata keluarga). Aku tidak bisa memilih, karena pada akhirnya aku harus melakukan semua hal secara bersamaan. Pertama, aku memastikan bahwa kedua tamu tak diundang itu sampai di tempat dan tangan yang tepat. Kedua, aku memastikan bahwa aku bisa bertemu dengan orang yang kutunggu, dan ketiga, aku memastikan bahwa temanku tidak seorang diri ketika menemani kedua tamu tersebut. Bayangkan!

Sabtu, 2 Juli 2011

Hari ini akan ada beberapa bagian yang harus dihilangkan. Kembali lagi, alasannya adalah untuk membuat beberapa pihak yang terlibat tetap merasa aman dan nyaman. Apa yang kami andai-andaikan benar-benar terjadi. Tepat, dan tidak ada satu pun yang di luar rencana! Semuanya sama persis. Hebat! Atau hanya sebuah pengaminan dari harapan yang kami sampaikan?

Inti dari semua yang kami rencanakan ada di tahap ini. Dan besok..

Aku malas bercerita dan mengingatnya. Aku tidak suka. Benar-benar tidak suka dengan sebuah keadaan yang tidak terencana.

Minggu, 3 Juli 2011

Cukuplah aku tahu bahwa apa yang kami persiapkan ternyata tidak mencukupi. Kalian tahu?

Ibuku baru saja mengirim 450 ribu pada hari Kamis. Itu adalah biaya hidup hingga tanggal 15 Juli. 12 hari lagi. Dan hari ini, uang itu menyusut menjadi 50 ribu. Wauw.. Amazing! (pas banget sama lagu yang dinyanyikan sama Aerosmith sekarang. Dan aku benar-benar ingat. Aku hanya menguranginya untuk bensin full tank, dua bungkus rokok, dan makan ala kadarnya (kecuali hari Sabtu, karena aku tidak mengeluarkan biaya apa pun hari itu). Sisanya? Raib.. Di tangan orang lain.

Aku pelit? Iya.. Aku perhitungan? Sangat iya..

Jika aku memiliki pemasukan lain, aku sama sekali tidak akan mengeluarkan komentar. Aku sama sekali tidak akan kebingungan menjalani hidup hingga tanggal 15 besok, dan aku sama sekali tidak akan marah.

Aku baru saja berhasil menaikkan bobot badanku hingga tiga kilogram. Itu adalah sejarah yang patut dicatat. Dua celana jeansku tidak muat untuk dipakai. Tapi sekarang? Bobot itu kembali lagi di angka 55 kilogram. Artinya? Aku sama sekali tidak bahagia!

Senin, 4 Juli 2011

Hari berat berikutnya. Messing day. Bungee jumping membuat saluran telingaku menjadi penuh air. Mengerikan dan menyakitkan. Tidak perlu dibahas bagian ini. Hanya pengarungan biasa, dengan tawa yang terkesan dipaksakan.

Aku harus menekan rasa malu ketika harus berkata pada beberapa orang “nyuwun tulung.. karena kita tidak punya biaya..”. Sampai segitunya. Karena apa? Karena tidak ada satu pun di antara kami yang ingin mengecewakan hari mereka. Pantaskah ketika tamu datang, dan kita mengatakan bahwa kami tidak memiliki biaya sama sekali untuk mendanai mereka? Pantaskah ketika ada tamu datang, dan aku harus mendengar “tamune sopo je? Duitku wis entek nggo nguripi”. Baiklah. Baiklah. Maaf untuk penempatan yang salah. Seharusnya aku tidak menempatkan mereka di Setrajana. Maaf untuk itu.

Untunglah kalian pulang hari ini. Jika tidak, maaf saja, aku lepas tangan.
Aku tidak tahu. Hingga hari ini aku tidak bisa melepas rasa marah dengan legowo.
Aku belum pernah merasa dirugikan semacam ini. Hanya karena pemikiran singkat, jangan sampai merepotkan orang lain, pikirkan itu.

MEREPOTKAN..!!!!!!!

Aku bukan orang yang bisa dengan mudah mengatakan “tidak”. Dan kadang, aku semakin menjadi bodoh, yang selalu, dan akan selalu diberi cap sebagai orang yang bisa dibodohi dengan mudah.

Mungkin itu yang membuatku marah. Bisa saja dari awal aku memberi penjelasan singkat “kalian jangan ke sini. Bukan saat yang tepat, dan tidak ada yang bisa menemani kalian.” Mudah kan? Tapi aku tidak melakukannya. Karena apa? Karena aku tidak bisa melakukannya. Sampai kapan pun, aku akan sulit mengatakan “tidak”, dan hanya bisa marah dengan cara seperti ini.

Selasa, 5 Juli 2011

Mulai hari ini dan entah sampai kapan. Aku tidak tahu bagaimana aku harus makan atau memenuhi kebutuhan hidupku yang lain.. Menyedihkan.. Dan aku masih tetap marah dan tidak mau menerima apa yang sudah terjadi. Luke, sepertinya kita ga bisa zakat mol untuk beberapa hari ini..

Sepele, tapi menyebalkan!!!!

E atau S

Kita bermain dengan pengandaian. Jika pada akhirnya aku takut untuk membuat sebuah keputusan, apakah yang akan aku lakukan?

1. Aku akan berusaha membuat pilihan itu bernilai zero sum. Aku mendapatkannya, atau tidak sama sekali.

2. Aku akan membuat kedua pilihan itu menjadi milikku.

3. Aku akan membuat titik di dalam otakku menjadi diam untuk bekerja.

4. Aku akan membuat seolah hidupku tidak bermakna.

5. Aku akan menghilangkan faktor penyebab pilihan itu muncul.

Membuat sebuah keputusan berarti berhubungan dengan dua atau lebih pilihan. Lagi-lagi, jika aku berhadapan dengan kenyataan yang membuat aku harus berkata iya atau tidak, maka lima poin di atas akan kujadikan pilihan. Membuat pilihan di atas pilihan yang tersedia. Seperti itukah hidup? Berkutat pada memilih dan dipilih.

Sampai sejauh ini, pilihanku untuk membuat hidupku berbeda dengan orang lain membawaku pada satu titik kemarahan. Aku kembali lagi pada masa di mana aku harus bertahan seorang diri, tanpa ada seorang pun yang menemani. Jika dirunut ulang, pilihan yang kujalani membuat aku menjadi seorang yang tamak. Ingin memiliki segalanya, tanpa memikirkan apa yang terjadi setelahnya. Sebenarnya ada baiknya hal itu terjadi. “Ada baiknya” tentu terjadi setelah beberapa bulan kejadian yang kupilih. Untuk menjadi seseorang yang berguna di saat genting itu, justru malah membuatku kacau dan tidak berpijak pada pemikiran yang rasional. Apa yang terjadi adalah, aku terkungkung di dalam ketakutan dan pemikiranku sendiri. Berpikiran negatif, dan berusaha untuk berhenti memilih jalan yang lebih baik. Poin nomor tiga dan empat kulakukan secara bersamaan.

Faktor memilih itu muncul ketika aku dipandang sebagai orang yang memiliki kapabilitas lebih. Penilaian orang lain terhadapku membuat aku berdiri menjadi pribadi yang defensif. Berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk membodohiku. Aku mampu, dan aku bisa dengan mudah dimanfaatkan. Karena aku tidak bisa dengan mudah mengatakan “tidak”. Percayalah, aku tidak bisa menghilangkan faktor itu dari dalam hidupku.

Cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan membuat semuanya tampak sederhana. Mencatat semua alasan, dan hasil positif apa yang akan didapat. Selesai semuanya. Dan menurutku, cara termudah membuat semuanya menjadi sederhana adalah mengenali diriku dan menjadi “aku”. Semua poin di atas sudah pernah kulakukan. Dan aku lebih bahagia ketika aku memilih minum teh panas dari pada es teh ketika udara panas menyerang. Hanya berbeda dua huruf “e” dan “s”. Sesederhana itu. Namun semuanya tampak lebih baik setelahnya.

Ancang Ancang

Terlalu kuatkah menjadi seorang yang harus selalu tersenyum? Membuat nyamankah apa yang kau lakukan saat ini? Ataukah kau berdiri sebagai satu pribadi canggung yang tak ingin dikenali orang lain? Aku mencoba membuat sebuah awalan baru, dengan kapasitas baru, dan dengan pertimbangan yang tidak cukup mudah untuk diperdebatkan pada akhirnya. Dengan atau tanpa usaha, aku beranjak meninggalkan sebuah kehidupan, tanpa ada tangisan, tanpa ada lamunan semu yang tak ingn kubagikan pada setiap orang yang mengenalku.

Aku menanti saat itu tiba, saat di mana mataku tak lagi dapat melihat raut wajah yang mulai menua. Di mana aku tak dapat berdiri tegak, di mana aku tak bisa lagi mendengar bahwa betapa aku sangat disayangi. Di saat itulah, aku akan melihat siapa yang tersisa. Apakah hanya aku? Ataukah bersama orang yang sangat kurindukan untuk ada di sampingku?

Dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau bahkan sampai tak terhitung lagi jarak waktu yang tak kuingini, aku akan tetap pada jalur yang sama, menjadi seorang wanita, dengan status yang mengikutiku, tetap ingin dikenal sebagai seorang yang kuat. Di mana pun Kau berada, adalah selalu untuk menguatkan aku. Aku hanya ingin mencoba untuk tersenyum. Dan dari sinilah semua berawal. Sebuah senyum untuk memaafkan apa yang membuatku menangis. Hanya karena itu mereka mengenalku. Hanya karena senyum itulah aku menjadi lebih kuat. Aku menang, ketika aku bisa tersenyum, ketika aku bisa menertawakan apa yang pernah menimpaku.

Cobalah membuat sebuah perubahan dengan berkaca pada matamu. Dia akan terus berkaca-kaca jika kau merapatkan bibirmu. Dia akan terus mengeluarkan cairan yang kau namakan dengan kesedihan jika kau terus membuat sebuah penyesalan. Cobalah!

Berusahalah berkata “terima kasih” untuk semua yang pernah kau cicipi, bahkan untuk sebuah hari di mana kepalamu terasa berat untuk mendongak ke depan. Nikmati semuanya. Akan terasa berat, namun akan menjadi sebuah kelegaan ketika pada akhirnya ada yang berkata “kau hebat”.

Dan jika pada akhirnya aku harus berjalan sendiri, maka hanya akan ada aku dan Kau. Hanya Kau, yang akan selalu menyematkan kata takdir di bawah kakiku. Itu artinya, sekali lagi, aku menang. Sekarang, dan kapan pun.