Senin, 02 Mei 2011

Paskah = Kelaparan

Kamis, 21 April 2011

Seharusnya kuberi nama dengan Kamis Putih, namun tidak akan ada banyak orang yang akan memahaminya. Sebuah awal dari Tiga Hari Suci. Dan, yang terjadi adalah : aku mulai tidak bisa membeli teks misa yang harusnya bisa kubaca. Bahkan, persembahan yang bisa kumasukkan ke dalam kotak persembahan sama dengan uang parkir yang harus kubayarkan pada penjaga motor. FUCK!!!

Menu makanan hari ini :
- Pagi (sekitar pukul 11.00), anggap saja masih pagi : nasi putih dengan tahu petis. Kenyang dan enak.
- Malam (sekitar pukul 21.00), sepuluh jam kemudian : sekitar enam sendok makan nasi putih dengan dua tempe bakar berukuran kecil. Benar-benar kering. Aku hanya terdiam, berusaha mengunyah, dan tetap mengucapkan terima kasih pada yang berkenan membayariku.

God! It really makes me wonder, why.. just why??? But anyway, it’s time to learn how to say “Thanks God!” with swelled lips. I’m still learn, so please, You don’t mind to give me more and some terrible moment, right??

Bolehkah aku marah pada orang-orang di bawah kosanku itu? Mereka terus saja berteriak-teriak, mengeluarkan kalimat-kalimat tidak penting. Setahuku, berteriak itu hanya cukup untuk satu atau paling banyak lima kata saja. Tapi mereka berteriak untuk satu kalimat penuh. Eeerrrrgghhhh!!! Pekak telingaku mendengarnya. Bisakah aku marah? Sedikit saja..

Jumat, 22 April 2011

Aku memulai hari dengan keadaan yang tidak begitu baik. Sungguh manyun bibirku. Aku juga tidak tahu mengapa. Kurasa karena faktor hormonal pra menstruasi. Yang aku tahu hanya marah, marah, dan marah. Padahal, aku juga tidak tahu mengapa aku harus marah. Sungguh aneh. Tapi saat ini, marah itu adalah hal ternikmat yang bisa dinikmati. Faktor keduanya adalah aku belum sarapan. Lagi-lagi, jam kecilku sudah menunjukkan arah 11.15. Dan aku belum sarapan.

Aku belum membuka ikan kuningku. Kemarin, isi perutnya sudah kuambil 7000 poin untuk memberi makan Supri. Hari ini, aku tidak tega membukanya. Kurasa matanya sudah cukup turun untuk menahan rasa sakit di perutnya. Tapi mau bagaimana? Saat ini adalah giliranku untuk diberi makan. Dan aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa.

Yang biasa kupanggil dengan sebutan God itu tidak berwujud sama sekali. Aku tidak bisa merengek di depanNya. Aku tidak bisa mengajakNya keluar rumah, memboncengku, dan membayariku sarapan. Aku menunggu saja, mungkin ada baiknya aku bersabar. Tidak terlalu buruk kurasa.

Pukul 18.00. kupilih waktu ini untuk menjalankan misa Jumat Agung. Satu masa di mana bacaan yang akan dibacakan oleh lektor harus dinyanyikan. Iya, dinyanyikan. Sepanjang itu, dan aku harus duduk manis menikmatinya. Tentu saja, dengan perut perih yang tak kunjung mendingin. Untungnya, aku tidak memilih pukul 21.00. Karena jika tidak, aku harus lebih lama lagi duduk untuk menyaksikan para baptisan baru.

20.35. Aku masih di parkiran luar gereja. Mama telepon. Dan dia bertanya “Nduk, lapo se kok tumben men kowe ga gelem dikongkon blonjo?”

Aku hanya terdiam. Tertawa kecil..

“Opo’o kok?”

Pada waktu ini, aku diminta oleh ibuku untuk melihat harga gorden. Hanya melihat. Dan aku benci melakukannya. Karena aku sama sekali tidak memiliki uang. Perlu kau ketahui, aku adalah wanita yang gila belanja. Sangat tahu apa yang aku inginkan, dan selalu melakukan pilihan tepat untuk membuat diriku cantik. Dan sangat tidak mungkin bagi ibuku, bahwa aku tidak menyukai kegiatan “pencarian gorden” ini. Indikator itulah yang menyebabkan ibuku membuat pertanyaan seperti di atas tadi. Jika diterjemahkan, maka bunyinya akan berubah menjadi seperti ini “Nduk, kok tumben banget kamu ga mau disuruh liat-liat dan belanja? Biasanya suka banget?”

Aku hanya terdiam. Tertawa kecil..

“Kenapa?”

Akhirnya aku memberanikan diri “hehehe.. Soalnya ga ada duit, Ma..”

“Hhhhh.. Pancet ae..”
Pancet=tetep aja, ga berubah.

Dengan beribu alasan, aku mengungkapkan mengapa uang saku yang diberikan olehnya bisa habis dalam waktu 15 hari. Aku juga tidak paham mengapa uang itu tiba-tiba harus melayang. Kasus ini pasti sama dengan kalian, kan? Jadi, aku tidak akan bercerita lebih jauh.

“Laper, Ma..”

“Owalah.. Yo sik, ta kirime..”

Sabtu, 23 April 2011

Hahahahahahahahahahahahahaha.. kesimpulannya adalah Paskah tidak sama dengan kelaparan. Karena dalam windows, aku tidak bisa mencantumkan tanda tanya (?) di belakang judul yang kubuat. Maka, jawabannya ada di sini.

So, I’ve made everything OK in My time, not in yours, girl!!

Just Simple Like Me..

Salah satu hal yang paling kuinginkan sejak aku ada di dunia adalah : aku ingin mengambil sebanyak mungkin barang dari supermaket – TANPA MEMBAYAR!!! –

Bahkan, tidak ada satu orang tua pun yang mengajari anaknya untuk berbuat seperti aku. Tapi, aku terlalu sering diajak ke berbagai pusat perbelanjaan, namun hanya sedikit barang yang bisa kuambil dari sana. Suatu saat, aku akan pergi ke tempat seperti itu. Dan akan kuambil barang yang kuingini, tanpa membayar sepeser pun! Tunggu saja.

Hal terbesar kedua yang kuingini adalah, aku ingin memiliki rumah makan yang akan selalu didatangi oleh manusia-manusia kelaparan. Mereka kuharuskan membayar dengan biaya yang sesuai dengan kantong mereka. Jadi, aku bisa tetap bermain-main sesuka hatiku, bermain dengan anakku, dan menunggu aliran uang itu datang kepadaku, tanpa harus mengeluarkan pikiran seperti orang-orang di perkantoran itu. How beautiful is it..??

Hal ketiga, aku sangat-sangat ingin memiliki beratus-ratus anjing di rumahku.

Keempat, aku ingin memakai gaun panjang berwarna turqoise, dengan belahan dada yang rendah, dilengkapi jas fit berwarnaa hitam. Aku menunggu kulitku berwarna sedikit terang. Jika tidak, aku hanya akan terlihat seperti ondel-ondel.

Kelima, dan terakhir, aku ingin mengaplikasikan kesemuanya itu dalam waktu singkat.